Track 23 : Sweet Sorrow

562 115 100
                                    

Mengambil sebuah keputusan itu berat, bukan hanya bagaimana cara kita menyikapinya sekarang, tetapi juga bagaimana nanti kita terus menggenggam keputusan tersebut ke depannya.

Dalam kamus hidup gue, keputusan ini adalah satu dari sekian keputusan paling besar yang pernah gue ambil. Dan ini, adalah keputusan terakhir seorang Galileo.

Gue akan bertemu dengan Wina, mencoba menyelesaikan apa yang harus gue selesaikan. Kalau gue ditanya, apakah gue sudah siap? Jawaban gue sejujurnya hanya satu; belum.

Tetapi gue berakhir berpikir, mau sampai kapan gue harus menunggu ego gue sendiri yang nggak pernah merasa siap? Sedangkan realita di hadapan gue jelas-jelas menunjukkan bahwa gue dan Wina akan terus menjauh jika gue nggak kunjung berusaha.

Jadi pada hari itu, gue hanya bisa berdoa pada Tuhan, agar semoga keputusan terakhir gue ini bukanlah sebuah kesalahan.

Gue selalu ingat akan kata-kata Wina yang mengatakan di semester ini, bahwa setiap hari Kamis pada Minggu keempat di tiap bulannya, dia memiliki jatah libur seharian penuh. Jadilah setelah gue bolak-balik membuka aplikasi kalender, gue merasa ini waktu yang tepat.

Seharusnya, menurut rencana awal, gue akan datang ke rumahnya sekitar pukul sepuluh pagi tadi. Namun karena kelas linguistik gue yang pukul satu siang itu tiba-tiba dipindahkan pada pukul sebelas, maka gue terpaksa memutar rencana.

Ya, pendidikan tetap harus gue utamakan.

Demi apa pun, gue nggak bisa sedikit pun merasa tenang setelahnya. Sepanjang perjalanan menuju rumah Wina, gue nggak henti-hentinya berdoa, sesekali mengusap kedua telapak tangan gue sendiri yang get a little bit shaking and sweating for some reason.

Enggak ada yang tahu gue melakukan ini, nggak keluarga gue (Bang Al tahu tapi nggak tahu kalau gue melakukannya dalam waktu dekat) nggak Antares, apalagi teman-teman gue yang lain. Karena gue berpikir, daripada mendapatkan dukungan yang entah bisa gue terima atau enggak, lebih baik gue yang datang kepada mereka jika nanti hasilnya berjalan sesuai dengan apa yang gue inginkan.

Puji Tuhan jika gue berhasil, kalau enggak ... gue nggak tahu, gue nggak sanggup membayangkannya.

Setelah melalui perjalanan sekitar empat puluh menit, akhirnya gue bisa tenang mematikan kontak mesin, delapan meter dari rumah bertingkat dua di depan sana. Untuk yang kesekian kali.

Mendadak gue berpikir, dibanding datang dengan suasana yang menghancurkan, bukankah lebih baik gue nggak datang sama sekali, ya? Hah.

Usai merapikan jaket hitam yang gue kenakan, lantas gue melawan rasa takut dan terus berjalan hingga langkah gue terhenti di depan gerbang yang terbuka tak sampai dua meter tersebut.

Dan jantung gue begitu saja dibuat berdegup kencang, sebab ternyata, dia sudah ada di sana bersama tanaman-tanaman calanchoe yang tengah dia sejajarkan rapi di tepi taman.

Yes, she is. She's my girl, the one and only reason I landed here.

Gue belum sempat bersuara sewaktu dia bangun berdiri dan menepuk-nepuk blus putih yang dikenakannya, lantas dia berbalik dan di detik itu pula pandangan kita bertemu. Setelah sekian hari yang berat. Setelah ratusan bayangan yang tak pasti. Gue akhirnya bisa merasakan jantung gue kembali berdetak nggak karuan setiap melihat pasang mata teduh itu, dan saat ini, rasanya sungguh berbeda.

Bahkan gue yakin, saat ini gue jauh lebih gugup dibandingkan saat gue menyebut nama dia pertama kali di pertemuan kita yang kedua, waktu itu.

Because when I looked into her eyes, I just realized that I miss her smile, her laugh, her voice, her habits, and all her funny behavior. I miss how I hold her tight, how I hold her little finger, and how I give her a shortly kiss on her forehead or chubby cheeks.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang