"I hope I see you again soon."
Dulu, awalnya, aku kira aku cuma salah dengar.
Atau aku kira, walaupun kalimat itu diucap dengan pelan sekali, aku pikir si pembicara hanya iseng dan pasti akan menghilang entah ke mana seiring berjalannya waktu.
Namun ternyata enggak, si mahasiswa kekurangan tekanan darah itu, nggak pernah bercanda dan selalu menepati tiap susun kata-katanya.
Aku nggak tahu apa yang membuat seorang Kak Leo (iya pada waktu itu tentu masih aku panggil dengan embel-embel tersebut) sampai meminta nomor teleponku bahkan di waktu pertemuan pertama kami. Dia bilang barangkali ada sesuatu yang enggak dia mengerti perihal obat penambah darah.
Aku bingung di detik itu juga, karena aku nggak pernah menghadapi situasi yang seperti itu. Jadi bagiku, saat pertama kali aku bertemu dengannya, dia aneh dan begitu freak.
Tetapi aku nggak bisa berbohong, aku suka sepasang matanya waktu mata kami saling bertukar pandang sesaat. Aku berpikir mungkin sepasang mata kecil itu akan terlihat lebih bagus saat nggak ada kacamata yang menghalanginya.
Intinya, yang aku sukai dari Kak Leo pertama kali sebenarnya hanya matanya saja. Hehe, jangan mengadu ke dia, ya?
Aku sejujurnya kurang tahu di mana tepatnya diriku mendeklarasikan diri dengan "Oh, aku sepertinya suka dengan dia." Karena tahu-tahu, aku selalu bisa merasakan ada letupan-letupan kecil di dalam diri setiap kali dia menyebut namaku, atau sewaktu dia menyempatkan untuk mengulas senyum di tiap ada kesempatan kami bertemu.
Semudah itu hatiku dibuat jatuh sedalam-dalamnya jatuh.
Oh, iya. Galileo itu bukanlah orang pertama yang aku sukaㅡhe's not my first love. Tapi walaupun begitu, dia adalah segala pertama buatku.
Dia orang pertama yang panggil aku dengan sebutan Wina. Dia orang pertama yang tahu kalau aku gagal masuk ke universitas impian. Dia orang pertama yang dengan berani menghadap kedua orangtuaku. Dia orang pertama (dan semoga terakhir) yang bersedia membawaku pada tahap yang lebih serius. Dan dia, adalah orang pertama yang berhasil mencuri ciuman pertamaku beberapa saat setelah dia menyematkan cincin cantik itu pada jemariku.
Aku nggak tahu gimana dengan dia, tapi itu benar-benar yang pertama buatku. Dan aku begitu bersyukur, karena orang itu adalah Galileo.
Terkadangㅡatau malah sampai sekarangㅡaku masih nggak menyangka kalau aku dan Leo sudah benar-benar nyaris menginjak tahap ini. Tahap yang sama sekali nggak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jangankan terbayang mengikat janji sehidup semati, membayangkan lulus kuliah dengan predikat terhormat saja terkadang aku nggak yakin.
Kenapa? Nggak tahu. Mungkin karena dia Galileo, dan aku Adwina.
Galileo yang kukenal adalah sesosok lelaki bersifat tepat, ambisius, dan perfeksionis baik di hidup maupun lingkarannya. Di umurnya yang keduapuluh, dia sudah menjadi seorang manajer, gitaris, serta vokalis dari band kampus yang digawangi bersama teman-temannya. Belum lagi dia sanggup menerima tawaran-tawaran label musik untuk memproduksi lagu.
Sementara keluarga besar Leo sudah dikenal sebagai keluarga arsitek. Sembilan puluh persen dari mereka adalah arsitek, developer arsitek, sampai desainer interior.
Namun, Leo sendiri adalah lelaki pertama yang secara nggak langsung telah memutus garis tradisi keluarga Tyaka dengan memilih pilihan hidupnya menjadi seorang mahasiswa sastra, pun masih ditambah ketertarikannya pada dunia musik membuat dia makin terlihat mencolok di antara keluarga besarnya.
Walau begitu, mereka semua tetap mendukung Leo sebagaimana mestinya. Kecuali, satu, Leo pernah bercerita padaku kalau ada salah satu kakak sepupunya yang begitu kesal setiap bertemu dengan Leo karena dia telah mematahkan tradisi keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundtrack : A Miniature Finale
FanfictionIni mengenai Galileo dalam cerita perjuangannya dan mengenai Adwina dalam cerita kekurangannya. Ini mengenai semesta di antara mereka yang membawa keduanya pada satu konklusi. (was) #1 - gncd #1 - eaj #3 - jae [ Soundtrack ; DAY6's special collabora...