Track 30 : Outro - Miniature Finale

925 110 71
                                    

Sometimes I wonder what the finale of life is.

Is the end of our life? To be continued? Or just want to find out where I'm standing right now?

Tetapi menurut gue, lebih cenderung pada opsi terakhir.
Karena, hidup bagi gue nggak ada ujungnya selain kematianㅡoke, tapi di sini gue nggak bakal bahas itu karena ngeriㅡadanya, yang biasa kita sebut sebagai jeda.

Jeda di mana hidup kita ada transisi, perubahan, dan akan terus berkembang.

Di jeda versi hidup gue kali ini, adalah tentang fase di mana gue jadi harus belajar lebih dewasa, tenang, dan nggak egois dalam menerima suatu hal. Misalnya, seperti yang terjadi sekarang.

Terbiasa mudah bertemu dan dekat dengan Wina membuat gue turut merasa gelisah di detik pertama ketika gue tahu kami harus terpisah oleh jarak. Gue nggak boleh egois kan, tuh, nggak bisa larang-larang dia, memangnya gue siapa?

Jadi, Senin depan, Wina akan terbang ke Surabaya guna mencari bahan penelitian menjelang tugas akhirnya nanti yang padahal masih lama sekali. Entah memakan waktu berapa lama, yang jelas berbulan-bulan, yang jelas cukup untuk memantik diri gue agar bisa menghabiskan waktu yang ada dengannya. Seharian ini.

Kebetulan, hari Sabtu ini gue memiliki rencana mengunjungi Loka Dikara, yakni rumah yatim piatu yang memang keluarga gue telah menjadi donatur tetap sejak pembangunan pertamanya. Gue mengajak Wina ikut serta, dan dengan senang hati serta antusias dia mengangguk menyetujui.

Duh, lucu banget, cewek siapa sih.

Cewek gue, lah.

Setelah menjemput dia usai jam makan siang, gue langsung mengendarai mobil menuju tempat tujuan, kemungkinan kami akan sampai sekitar pukul tiga sore jika kemacetan nggak menghalangi.

"Mau mampir dulu nggak?"

Wina yang tengah membenahi kucir rambutnya lantas berhenti dan menoleh setelah mendengar pertanyaan gue, ketika mobil gue mulai memasuki daerah Bogor.

"Hah? Mampir ke mana?"

"Ke rumah Mama, nih mau ngelewatin nih."

"Ah, nggak mau."

Gue tertawa lepas, karena Wina malah terlihat salah tingkah.

"Kenapa nggak mau?"

"Aku nggak siap apa-apa."

Kan, sudah gue duga itu jawabannya. Wina itu, meski sudah cukup sering bertemu Mama dan Papa, tetap saja nggak bisa santai setiap bertemu mereka.

Dia bilang, sebisa mungkin nggak mau membuat Mama dan Papa gue kecewa karena putra bungsunya memiliki seorang kekasih seperti dia. Padahal, nggak tahu saja Wina, kalau Mama Papa gue selalu menerima dia apa adanya (bahkan seperti kelemahannya yang nggak terlalu bisa memasak dan sering kali dia keluhkan itu). Dari cara Wina memperlakukan gue dari hal-hal kecil pun, Mama Papa sudah percaya kalau pilihan gue nggak pernah salah.

Sekarang, giliran gue yang nggak boleh ragu meyakinkan dia.

"Ya udah, sekarang nggak dulu. Besok-besok kamu siap nggak siap harus siap, aku langsung belok ke rumah tanpa bilang kamu."

"Kamu mau aku bunuh?"

"Kamu nggak mungkin bunuh aku di depan Mama Papa, kan?"

"Oh ... iya juga."

Entah yang keberapa kali dalam beberapa jam setelah kami bertemu, tetapi tawa gue lagi-lagi menguar lepas. Kali ini diselingi dengan jemari gue yang mencubit pipi tembamnya.

Bisa gue lihat semburat merah timbul di sela-sela rona manisnya, buru-buru dia memalingkan wajah pada kaca jendela yang gue hafal itu adalah gesture dia saat tertawa malu-malu.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang