Track 28 : Be Brave

545 99 53
                                    

Gue sedikit nggak menyangka, gue benar-benar telah memperkenalkan gadis di samping gue ini pada hampir seluruh keluarga dekat gue di dalam gereja tadi. Mayoritas dari mereka terkejut karena gue sama sekali nggak pernah bercerita apa pun soal pacar, bahkan beberapa di antaranya lagi merasa nggak percaya karena gue katanya terlihat nggak peduli dengan urusan asmara.

Tadinya, sih, mungkin begitu. Tapi setelah bertemu Wina, beda lagi ceritanya.

Perjuangan Wina belum berhenti sampai di situ. Sebab lingkaran orang yang lebih luas sedang menanti dia di sudut kota lain, dan dengan mudah, gue masih dapat menangkap ekspresi harap-harap cemas di wajahnya.

"Aku kira Kak Al sama Kak Aci mau ikut kamu?" Wina bersuara, setelah kita sama-sama menghentikan langkah di pelataran parkir gereja yang ramai, diisi oleh mereka yang akan segera berangkat menuju Jakarta untuk mempersiapkan acara resepsi.

"Mereka mau diantar Kak Gasta." Jawab gue, seraya membuka pintu mobil di mana Wina akan masuk. "Jadi aku bisa sama kamu aja berdua."

Kedua mata kecilnya memicing. "Itu maunya kamu ya pasti?"

"Enggak, enggak. Emang dari awal rencananya begitu kok." Gue buru-buru mendebas sambil tertawa ringan.

Tetapi diam-diam juga mensyukuri.

"Eh, Gal."

Gue yang baru saja hendak menutup pintunya jadi terdiam. "Kenapa?"

"Nanti kamu di Jakarta ganti baju?"

"Maunya sih enggak, tapi Mama pasti bawel deh."

Wina terkekeh kecil, lalu mengisyaratkan gue agar membungkuk mendekat dan dengan telaten ia langsung melepaskan kancing-kancing besar jas gue serta tidak lupa membantu untuk melepas balutan hitam ini.

"Dilepas aja mendingan, Jakarta siang-siang begini kamu tahu panasnya gimana. Biar nyetirnya nyaman juga."

Gue berkedip beberapa kali, bingung mau terkejut untuk perlakuan mendadak Wina terlebih dulu atau untuk jantung gue yang berdetak lebih cepat ketika sadar bahwa jarak kita hanya tersisa sedikit sekali.

Ini belum genap setengah hari, namun gue merasa sudah dikalahkan berkali-kali olehnya.

Dan gue tahu ini waktu yang tepat untuk membalas.

"Inget ya, nanti di resepsi jangan cantik-cantik, jangan ke mana-mana sendirian, jawab jujur kalau ada yang tanya pacar kamu siapa. Aku nggak mau berbagi soalnya." Lalu dengan cepat gue cium pelipis kirinya. "Dah. Biar nggak diambil orang."

Belum sempat dia memprotes, gue lebih dulu tersenyum puas dan begitu saja meninggalkan dia yang membeku di tempat.

Impas.

Iya, tadinya gue pikir impas. Tapi ternyata Wina belum berhenti sampai di situ untuk memporak-porandakan kewarasan gue.

Setelah usai melakukan persiapan resepsi bersama keluarga, gue dan Ayi memutuskan kembali memasuki ruang yang telah dikhususkan untuk keluarga serta kerabat dekat kita.

Sialnya, gue lagi-lagi terpengarah oleh tampilan Wina yang telah mengganti gaun beige-nya menjadi brokat cokelat tua (warna kesukaan dia dan gue), masih sebatas lutut dan berlengan pendek seperti pagi tadi. Bedanya, gue bisa menemukan wajah itu makin cantik saja karena tatanan anak-anak rambut panjang bergelombangnya dijepit menjadi satu di sisi kanan dan kiri.

Gue bersumpah ingin mengutuk siapapun yang merias Wina dari ujung kaki hingga ujung kepalanya itu.

"Janjian atau gimana ceritanya?" Tanya gue heran, memandang Wina dan Sita bergantian. Pasalnya, mereka menggunakan gaun berwarna serupa.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang