Track 17 : Imperfect Circle

491 111 45
                                    

Sampai di detik di mana gue kembali mengulang ingatan-ingatan buruk yang terjadi kemarin, nyatanya gue belum bisa berbuat apa-apa. Bahkan gue bingung harus melakukan apa.

Antares dan Wina sama-sama penting untuk hidup gue, mereka lebih dari orang-orang yang selalu hadir di dalam hari-hari gue. Mereka lebih dari itu. Mereka punya apa yang gue nggak punya. Mereka bisa apa yang gue nggak bisa. Mereka mengisi apa yang nggak akan bisa gue isi.

Kalian boleh percaya boleh enggak, gue sebenarnya sanggup hidup tanpa mereka, tapi gue nggak akan pernah mau.

Apalagi Wina.

Gue nggak pernah siap kehilangan dia. Nggak akan pernah.

Setelah melewati malam yang buruk kemarin gue begitu saja meninggalkan kota Jakarta, gue nggak punya pilihan lain dan karena gue nggak tahu harus melakukan apa, jadilah siang ini gue sudah terdampar di sini.

Di atas sofa dengan debu yang cukup untuk membuat gue terbatuk-batuk saat pertama kali mendudukinya.

Jika saja Mama atau Wina tahu gue tidur di atas permukaan kotor begini, bisa dipastikan gue akan dimarahi dari pagi hingga pagi lagi.

Yap, gue enggak balik ke manapun. Enggak ke apartemen, karena itu hanya akan membuat gue teringat Wina serta masalah-masalah yang ada. Enggak ke rumah Mama Papa, karena gue bisa disidang habis-habisan. Kostan Antares? Hell, gue masih waras dan nggak mau mati ditelan emosi.

Tidak lama kemudian ponsel gue di atas meja berbunyi, entah siapa dan untuk yang keberapa kali untuk hari ini. Yang jelas, gue nggak melakukan apapun untuk menanggapi semua notifikasi itu.

Pernah nggak, kalian merasa sedang nggak ingin dicari ataupun mencari? Nah, gue begitu.

Nggak tahu, rasanya gue nggak bisa. Hari ini rasanya gue nggak ingin berkomunikasi dengan siapa pun.

Walau sebenarnya nggak mungkin.

"Terus! Kiri terus!"

Aduh, kan.

Mau nggak mau gue beranjak bangun, merapikan kaus abu-abu yang sedang gue kenakan sebelum benar-benar membuka pintu keluar.

Di luar sana, sudah terlihat satu sampai empat orang yang tengah menggeret-geret steger.

Gue sebelumnya hanya memperhatikan dari arah teras setelah meraih satu botol air mineral dan meneguknya banyak-banyak, namun sapaan dari belakang punggung membuat gue terpaksa jadi harus berkomunikasi.

"Kirain nggak bakal ke sini, Mas?" Lelaki itu tertawa, lalu segera meletakkan waterpass yang dibawanya. "Kaget saya, kok pagi-pagi udah ada mobil si Mas di garasi."

"Iya, Mang. Nggak direncanain, tahu-tahu pengin ke sini."

Oh, iya. Ini Mang Oji, mandor bangunan baru yang mengurus renovasi rumah gue.

Iya, rumahnya Septyaka Daru Galileo. Ngeri.

Mang Oji tampak memperhatikan wajah gue sejenak, lalu buru-buru bersikap biasa saja. "Sehat, Mas?"

Ini pasti karena lebam keunguan di tulang pipi gue yang sudah mulai terlihat, sih, yakin. Sialan memang Ayi, tonjok orang nggak tahu tempat.

"Lumayan. Mang Oji sendiri gimana?"

Ceritanya cukup panjang kalau gue ceritakan detail di sini tentang bagaimana gue bisa punya rumah sendiri, yang baru saja masuk ke tahap renovasi empat puluh persen.

Intinya saja, ya. Jadi dulu gue pas SMP, pertama kali tertarik dengan dunia musik langsung memutuskan untuk minta dibelikan gitar. Gue jarang sekali meminta sesuatu kepada orangtua perihal di luar kebutuhan gue, maka karena itu gue berpikir akan mudah kalau gue tinggal meminta.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang