Sekarang kira-kira baru pukul empat pagi, di hadapan gue adalah pemandangan Bang Alpha yang tengah membaca ulang janji sehidup semati buatannya, bersebelahan dengan alkitab kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Gue pun kini sepenuhnya sadar, setelah dua puluh tujuh tahun hidup dan kurang lebih lima tahun mencari kepastian serta keyakinan satu sama lain ditemani masalah-masalah yang ada, pada hari ini, kakak gue akhirnya benar-benar akan membuka lembaran baru hidupnya bersama seorang perempuan yang sangat ia cintai kedua setelah Mama. Hidup bersama keluarga barunya.
Gue sebenarnya lebih dari dekat dengan Bang Al. Dulu, di saat gue merasa nggak punya teman, di saat gue merasa orang-orang nggak menerima gue, Bang Al justru selalu ada di sana menjadi teman, kakak, sekaligus guru yang mengajarkan gue banyak hal termasuk bagaimana caranya agar gue bisa survive di masa yang paling nggak ingin gue ingat.
Maka dari itu, terkadang Bang Al benar-benar bisa tampak seperti seorang kakak jika sedang menasehati, atau membimbing gue. Terkadang juga tampak seperti teman jika sedang adu mulut bersama gue mengenai hal-hal kecil dan sepele di sekitar kita.
He's the best brother that I ever had.
"Time flies so fast, ya, Bang. Where they're gone, by the way?" Ucap gue, sewaktu gue memandangi foto prewedding miliknya bersama Kak Jene yang tergantung di dekat pintu.
Gue yang meminta Bang Al untuk menggantungkan benda itu di sana, karena gue benar-benar yakin akan merindukan kehadiran lelaki itu di sini suatu saat nanti.
"Perasaan baru kemarin kita ribut cuma karena main game, atau berantem karena sepatu kita sering ketukar, atau karena rebutan siapa yang mau nganter Mama pergi-pergi." Lanjut gue.
"Nanti juga masih bisa main, Le. Di apart lo tapi."
"Ya tapi kan nggak segampang itu. Prioritas lo udah Kak Jene sekarang."
"It still feels like a dream, Le." Bang Al memandang langit-langit ruangan, lalu tersenyum singkat. "Kayak, gue sebelumnya nggak pernah kebayang, Jacinda, perempuan yang gue temui cuma sebentar-sebentar di sekolah lo dulu sekarang bales chat gue hampir tiap pagi, telepon gue setiap dia butuh solusi, marahin gue kalau gue nggak sarapan, dan bahkan sekarang dia bakal berdiri di sebelah kiri gue, in front of our family, in the name of God."
"You two really perfect for each other, don't worry, He will blessed both of you."
"Just worrying I can't finish my vows."
"No. You can."
Gue duduk di tepi ranjang, menepuk pundak Bang Al sekali hingga ia menoleh.
"And I promised to be your best man today." Ucap gue, lalu tersenyum.
Bang Al ikut tersenyum. "Thanks a lot, Le. But you've always be my best man in my life."
Dapat gue lihat mata Bang Al sedikit berkaca-kaca usai berucap demikian, jadi gue berikan sedikit tepukan lebih erat sebelum akhirnya gue tinggalkan ia sendiri agar dapat menyesuaikan emosinya yang gue tahu, itu pasti nggak mudah sama sekali.
Gue membelakangi pintu yang telah gue tutup tersebut seraya meraup napas panjang-panjang.
Enggak, gue nggak boleh menangis di hari bahagia kakak gue.
***
Sekitar pukul enam pagi masih di hari yang sama, gue sekeluarga sudah pergi ke hotel di mana Kak Jene berada, dengan gue membawa mobil gue sendiri bersama Bang Al, Papa Mama dengan mobil Papa, dan Kak Gasta membawa mobil milik Bang Al yang telah didapuk sebagai mobil pengantin hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soundtrack : A Miniature Finale
FanfictionIni mengenai Galileo dalam cerita perjuangannya dan mengenai Adwina dalam cerita kekurangannya. Ini mengenai semesta di antara mereka yang membawa keduanya pada satu konklusi. (was) #1 - gncd #1 - eaj #3 - jae [ Soundtrack ; DAY6's special collabora...