Track 21 : Drop

572 112 35
                                    

Galileo sangat bersyukur, karena sejak kecil ia telah diajarkan cara untuk mengorganisir dirinya sendiri, melakukan hal yang ia suka dalam konteks positif, dan tidak terburu-buru dalam mengejar sesuatu yang ia inginkan.

Tidak hanya kepada dirinya, sang kakak pun terlatih demikian.

Dulu, saat keluarganya memutuskan untuk kembali ke kota kelahiran, Leo adalah satu-satunya yang ingin menetap dan meneruskan pendidikannya di Ibukota. Butuh waktu bagi Leo untuk meyakinkan keluarganya bahwa ia bisa menjalani itu sendiri, terlebih lagi ayahnya, pria itu cukup berat untuk melepas putra bungsunya seorang diri mengingat bagaimana pribadi Leo yang sebenarnya.

Apalagi, Leo benar-benar memilih jalan hidupnya sendiri.

Berkali-kali orangtuanya meminta Leo untuk mempertimbangkan hal itu, namun Leo tetap bertahan pada pendiriannya, hingga akhirnya kedua orangtuanya mengalah, membiarkan Leo melakukan apa yang ia mau selama itu baik dan tidak merugikan orang lain.

Itulah sekian alasan yang membawa Leo pada hari ini, setelah melewati hari-hari yang berat kemarin, hari ini Leo memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan teman-temannya di luar Antares agar pikiran kalutnya tidak berputar di satu tempat yang sama.

Omong-omong soal Antares, Leo sangat yakin kini hubungannya dengan empat pemuda itu sudah benar-benar kembali seperti semula. Mereka juga beberapa kali sempat meledek Leo dan bertanya, kapan kiranya Leo akan memperkenalkan Adwina kepada mereka?

Galileo yang tidak tahu harus menjawab apa hanya menggeleng sambil tersenyum pasrah. "Nantilah."

"Le!"

Leo yang tengah mencari kunci mobil di dalam tasnya seketika menoleh pada asal suara, perempuan berambut sebahu itu menghampiri.

"Buru-buru gitu, sih, lo? Makan dulu nggak?"

"Nggak deh. Lo aja, gih."

Perempuan di hadapan Leo mengerutkan dahi. "Tumben?"

"Gue tuh dari kemarin nggak ada selera makan sama sekali."

"Makan apa pun?"

"Asli."

"I see, ya udah gue nggak maksa," sang perempuan mengangkat kedua bahu, "terus ini lo mau langsung balik jadinya?"

Leo menggeleng. "Bultang dulu."

"Bah, iya. Lupa gue di sini ada mantan atlet." Keduanya tertawa bersamaan. "Okay then, have fun, ya Le. Happy Sunday."

"Alright, happy Sunday too."

Galileo akhirnya meninggalkan pekarangan gereja sekitar pukul sembilan, tetapi kemacetan jalan di hadapannya cukup untuk membuat Leo menghela napas bersabar.

Leo jadi teringat, biasanya di saat-saat seperti ini ia akan menelepon sang kekasih dan saling mengucapkan salam Minggu. Meski Leo dan Adwina beribadah di dua gereja yang berbeda, keduanya tetap sering bertukar cerita tentang tempat ibadah mereka masing-masing.

"Apa dia udah selesai? Dia pulang dulu atau langsung jaga?"

Benak Leo terus-menerus mengulang pertanyaan serupa, sesekali ujung matanya mengerling pada ponsel di bangku sebelah. Namun lagi-lagi di detik berikutnya, Leo sadar bahwa ia belum mampu melakukan apa-apa.

Maka sewaktu kemacetan di depan mobilnya mulai terurai sedikit demi sedikit, Leo memutuskan untuk melupakan masalah itu sebentar atau paling tidak untuk hari ini saja. Ia ingin melakukan apa yang ia suka, melepaskan masalah yang ia punya untuk sesaat bukanlah sebuah kriminal, menurut Leo.

Justru ia harus melakukannya agar masalah ini cepat selesai dan ia dapat berpikir lebih jernih lagi sebelum mengambil sebuah keputusan fatalㅡkeputusan yang telah ia pikirkan sejak kemarin.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang