Track 24 : Lucky

556 118 35
                                    

Kalau kalian bosan sama cerita gue yang sering kali berawal atau meliputi si putih alias mobil gue, maaf ya, soalnya kali ini masih sama.

Dan soalnya, mobil gue juga adalah satu dari sekian saksi mati yang melihat semua perjuangan gue untuk sampai ke titik ini, untuk melewati semua masalah yang ada.

Atau mungkin untuk alasan lain, mobil gue ini punya banyak sekali cerita tentang gue dan Wina.

Gue kangen melihat dia tidur bersandar ke jendela. Gue kangen menawarkan berbagai macam makanan aneh yang kita lihat di jalan. Gue kangen mati-matian menyuruhnya untuk nggak membaca di dalam mobil karena ujung-ujungnya nanti dia akan berakhir pusing.

Hal-hal kecil seperti itu justru makin membuat gue sadar kalau gue nggak mau sampai dia pergi, gue nggak mau kehilangan dia, karena gue nggak yakin ada orang lain di luar sana yang bisa mengganti presensi Adwina seperti sekarang.

Meski nggak menutup kenyataan bahwa kemarin gue sempat takut dan hampir menyerah sama keadaan, mungkin sebab gue terlalu kalut, atau mungkin gue cuma terlalu takut kehilangan sampai akhirnya gue hanya bisa menyimpulkan segala sesuatu lewat sisi terburuk.

Oke, kalian bisa anggap gue egois, tetapi kenyataannya memang begitu. Selama sesuatu masih memiliki besar kemungkinan kita perjuangkan, pasti akan selalu kita perjuangkan, benar?

Itulah yang membuat gue jadi semakin nggak sabar menanti dia di sini, di dalam ruang ini.

Iya, gue kembali menjemput Wina setelah kurang lebih dua Minggu lamanya dia mengandalkan taksi online. Wina nggak minta, sih, tapi tentu gue yang menawarkan dan mengambil keputusan sepihak bahwa gue akan menjemput dia.

Kebetulan juga, kuliah gue dimulai siang, dan Wina kemarin sempat bercerita kalau dia sudah mulai dapat bagian jaga pada malam hari. Jadi dia akan memulai aktivitas jaganya itu pukul enam sore dan pulang pada pukul tujuh pagi.

Sambil menunggu sosoknya keluar dari gerbang besar rumah sakit, di seberang sini gue tengah mencoba merampungkan salah satu demo layering lagu yang pernah gue ajukan ke atas nama label, karena tiba-tiba orang label menerima tawaran gue, gue sendiri jadi tiba-tiba harus merampungkan versi lengkap lagu tersebut secepatnya.

Gue memilih duduk di bangku belakang, agar gue dapat dengan bebas bergerak dan membiarkan catatan-catatan itu berserakan bebas tanpa harus mengganggu spasi kemudi.

Enggak lama setelah gue menyimpan hasil salah satu layering di dalam tab, suara ketukan kaca jendela terdengar dari arah kiri. Refleks gue menoleh,

Oh, my sunshine was coming.

Tepat ketika gue membuka kunci, tepat saat itu juga jantung gue seperti bekerja lebih cepat. Gue juga nggak tahu kenapa, mungkin sebagian besar dari aroma parfum dia yang samar-samar menyeruak setelah dia ikut mengambil posisi duduk di sebelah gue.

Entah ini hanya perasaan gue semata atau Wina juga merasa demikian, yang jelas, setelah menyatakan perasaan gue di depan kedua orang tua Wina tempo hari, jantung gue masih belum bisa melupakan bagaimana kacau pacu kerjanya hingga saat ini.

Padahal gue yakin, kami sungguhan sudah baik-baik saja.

Dan hebatnya, walaupun dengan wajah lelahnya yang masih terlihat cantik, walaupun rambutnya yang panjang itu dikucir sedikit berantakan, walaupun sapuan make up tipisnya sudah nyaris tak terlihat, dia tetap sukses mengambil seluruh perhatian gue tanpa permisi sama sekali.

God lord, how can she be so effortlessly perfect like this?

"Kok kamu duduknya di sini, sih?" Tanyanya, seraya menoleh pada gue.

Soundtrack : A Miniature FinaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang