Part 2

7.8K 350 1
                                    

Semua mata tertuju pada Nindy. Perempuan itu semakin gugup.

"Segera kemari," suara laki-laki itu menggema di seluruh ruangan. Nyali Nindy menciut. Tatapan teman-temannya tampak begitu menyedihkan tertuju padanya.

Nindy duduk dengan tegap. Matanya menunduk tak berani menatap pandangan tajam mata laki-laki yang tengah berdiri tegap di depannya.

"Saya ulangi lagi buat yang terlambat. Nama saya Malik Dirgantara. Saya kira kalian seharusnya sudaha tau siapa saya," ujarnya. Pernyataan yang jelas tertuju pada Nindy. Siapa lagi yang terlambat selain dia.

Nindy mulai berani mengangkat wajahnya, matanya bergerak dari depan, kiri, memutar. Nindy menghitung jumlah teman-temannya. Kurang satu. Rio belum datang.

Selain Nindy, Rio merupakan langganan terlambat. Padahal rumah laki-laki itu tak sampai lima menit dari kantor. Habislah dia.

"Mulai besok saya tidak mau ada lagi yang datang terlambat," Pak Malik berkata dengan lantang sambil menatap Nindy.

Perkenalan dimulai, Pak Malik ternyata berusia 30 tahun. Usia yang relatif muda bagi seorang eselon IV. Kaca matanya membuat bos baru kami itu terlihat lebih serius dan sejujurnya, lebih tua dari usia yang sebenarnya. Tapi dibalik kaca mata tebalnya itu, Nindy bisa melihat tatapan mata tajam dan garis tegas rahangnya menegaskan keseriusan wajahnya. Walau begitu ingin menolaknya tetapi tak bisa dipungkiri, bos barunya ini tampak spesial, wajahnya tampan juga.

Sibuk menepis pikirannya sendiri yang kian menggelayut kemana-mana, suara Rio terdengar begitu melengking di tengah kesyahduan ruangan itu.

"Selamat paaa...." Rio melongo ketika melihat kami, teman seruangannya tengah disidang di hadapan seorang bos baru.

Seperti juga Nindy, Rio tak lepas mendapat tatapan mematikan dari Pak Malik. Bibir Rio seketika mengatup dan untuk beberapa detik, laki-laki yang sedang tidak beruntung itu mematung tak bergerak di tempatnya kini berdiri.

"Apa kau tak berniat berada di tempat ini lagi?" suara Pak Malik menggelegar membuat Pak Suki yang tengah lewat di depan pintu sempat menoleh sebentar melihat apa yang tengah terjadi di ruangan kami. Bergegas Pak Suki melanjutkan perjalanannya tanpa berani sekalipun menoleh atau mengeluarkan suara.

Dengan tergopoh-gopoh, Rio sedikit berlari menuju kursinya dana menariknya sambil mengeluarkan suara gesekkan ke lantai yang membuat berisik. Nindy memperhatikan wajah bos barunya menegang, lebih tegang dari sebelumnya. Rasanya lebih baik kalau Nindy tidak masuk saja hari ini.

Baru saja Rio mendudukkan diri di kursinya, Pak Malik berkata, "lanjutkan pekerjaan kalian!"

Laki-laki sombong itu meninggalkan kami yang masih tegang di ruangan karena kehadirannya di pagi hari yang seharusnya menyenangkan ini. Tak lama ketika Pak Malik meninggalkan ruangan, Rio langsung bangkit dan menutup pintu ruangan. Emosi tampak jelas di wajahnya.

Tanpa disangkat, belum selesai kami mengembalikan kursi ke meja masing-masing, bos baru kami sudah kembali masuk ruangan sambil membawa setumpuk berkas dan membantingnya di atas meja Rio.

"Bagikan disposisi ini!" teriaknya tanpa memandang wajah orang yang diajaknya bicara.

Nindy membenamkan muka ke atas ranselnya. Sepertinya kehidupan mereka ke depan tidak akan mudah.

Bos Baru KamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang