Bab 17: Angin yang Berhembus di Atas Air - bagian 3

203 28 3
                                    

Diri yang sebenarnya.

Apa maksudmu?

Huang Zixia mengikuti rombongan keluar dari Istana, duduk di dalam kereta Istana bersama dengan Yong Ji dan Zhang Qing menuju ke Istana Taiji, dan Huang Zixia berpikir keras selama dalam perjalanan menuju ke Istana Taiji itu.

Suara kaki kuda dan roda kereta bergema di jalanan yang lebar di kota Chang'an ini setelah jam malam usai, dan suara itu juga nyaris bergema di dada Huang Zixia.

Huang Zixia berulangkali memikirkan arti dari kata-kata Li Shubai itu, tetapi setelah memikirkannya, Huang Zixia merasa bahwa Li Shubai mungkin akan membiarkan Huang Zixia menyerahkan dirinya dan kemudian mati – apakah b*j*ng*n ini, pada saat kritis seperti ini, benar-benar samasekali tidak berniat untuk menyelamatkan diri Huang Zixia?

Ketika Huang Zixia hampir saja mencengkram dinding kereta dan berteriak, Yong Ji meninggikan suaranya dan berkata, "Kasim Yang, kita sudah sampai di Istana Taiji, turunlah dari kereta."

Huang Zixia merasa mati rasa, tetapi tidak ada yang dapat dilakukan oleh Huang Zixia, maka Huang Zixia hanya bisa mengikuti Yong Ji keluar dari kereta.

Istana Taiji, yang telah lama kosong selama seratus tahun ini, terlihat sangat sepi, dan tidak ada bedanya dengan Istana dingin yang dibicarakan oleh banyak orang di luar sana.

Saat itu adalah pertama kalinya bagi Huang Zixia untuk melihat Istana Taiji di tengah malam seperti itu, Istana itu benar-benar tenggelam dalam kegelapan, hanya beberapa buah lampu yang menyala di depan Balai Lizheng, menerangi dinding dan pilar, juga pintu dengan cahayanya yang berwarna merah terang itu.

Huang Zixia mengikuti Yong Ji dan Zhang Qing dan berjalan menuju ke Balai Lizheng selangkah demi selangkah.

Rerumputan sehijau beludru tumbuh memanjang sampai setinggi pergelangan kaki, rerumputan itu tumbuh menembus batu bata berwarna hijau. Ketika kaki menginjak rerumputan itu terasa tidak stabil dan tidak menentu karena kelembutan rumput itu. Lentera batu yang ada di pintu masuk Istana telah menjadi mulus dan berbintik-bintik akibat tertiup angin dan hujan, dengan cahaya di dalam lentera itu yang bersinar, membuat orang bisa melihat dengan jelas bahwa terdapat bekas lumut berwarna kehijauan di atas lentera batu itu.

Batu teratai yang tergantung di atap Istana tampak kusam dan pilar Istana yang dicat dengan cat berwarna merah terang tampak mengelupas membuat orang benar-benar merasa bahwa mereka tengah berada di Istana yang sudah lama tidak dirawat dengan baik. Tidak peduli betapa megah dan indahnya Istana itu, Istana itu masih merupakan tempat yang terlupakan dimana hanya sedikit orang yang berkunjung ke Istana itu.

Orang-orang yang berada di sekitar Permaisuri Wang adalah orang-orang yang cakap. Permaisuri Wang baru saja pindah ke Istana Taiji pada sore tadi, tetapi pada saat ini Balai Lizheng telah dibersihkan dan semua perabotan tampak bersih dan layak.

Meskipun fajar hampir tiba, tetapi Permaisuri masih belum beristirahat, Permaisuri sedang duduk di atas kursi yang empuk di belakang Istana, dan mungkin sedang menunggu kedatangan Huang Zixia. Para pelayan Istana mengantarkan bubur keju rebus yang selembut salju dan empat hidangan lezat lainnya. Permaisuri makan dengan perlahan-lahan, tenang, anggun, dan pelan-pelan, seolah-olah Permaisuri benar-benar lupa bahwa seorang kasim muda yang dipanggil untuk datang ke Istana Taiji pada saat itu sedang berdiri menunggu dengan gemetar.

Setelah makan malam itu selesai, beberapa piring dan mangkuk ditarik mundur ke belakang. Permaisuri Wang berkumur, dan meminum secangkir rebung ungu Gu Zhu, dan akhirnya Permaisuri-pun perlahan-lahan bertanya, "Kasim Yang, apakah menurutmu malam yang panjang di Istana Taiji ini benar-benar terlalu sepi?"

Huang Zixia hanya bisa berkata, "Jika ada kegembiraan di dalam hati anda, maka semua tempat akan tampak ramai seperti pusat kota. Jika hati anda sepi, maka semua tempat akan tampak sunyi dan dingin."

[Terjemahan] The Golden Hairpin Vol. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang