Kita jarang baik- baik saja. Tak apa. Langkahmu tak berhenti hanya karena dipermainkan semesta, 'kan?
•●•
Kala itu, Jeno tidak sengaja menumpahkan sedikit isi dari minuman jambu kemasan di tangannya.
Namun, reaksi perempuan itu berlebihan. Ia sampai harus memelotot dan mengomel- omel pada Jeno. Padahal, kemeja putih yang dipakai si perempuan hanya terkena noda sedikit saja, di bagian kanan bahu. Kalau perempuan itu punya blezer, hoodie atau sejenisnya, noda itu bisa ditutupi.
Bahkan sampai menit berlalu, perempuan lebih pendek darinya itu masih saja mengoceh.
"Gue minta maaf." Ini luar biasa ketika Jeno mau meminta maaf. Sebelumnya, ia hampir tidak pernah menggunakan kata itu, terutama pada orang asing.
Akan tetapi, desiran amarah berlebih si perempuan belum juga akan lenyap. Jeno memutar mata sekaligus mendengus keras. Kalau memang apa yang kini otaknya pikirkan adalah benar, maka yang akan Jeno lakukan selanjutnya pasti akan membuat perempuan ini diam dan segera pergi.
Jeno memindahkan kemasan minuman itu ke genggaman kiri, sedangkan tangan kanannya menjejal ke saku celana training hitamnya. Mungkin kesulitan yang terjadi pada Jeno bukan karena tidak menemukan apa pun di dalam sana, tetapi karena jumlahnya yang banyak membuat Jeno terpaksa mengambil satu lembar saja dari gulungan besar itu.
"Ini," kata Jeno dengan tangan terulur.
Perempuan itu memaku. Pandangannya jatuh pada selembar uang seratus ribu yang teracung dari jemari Jeno.
"Ambil." Jeno berkata lagi. Kali ini sambil menyeruput minuman jambunya dari sedotan yang tertancap.
Namun, yang dilakukan perempuan itu selanjutnya sukses membikin mata Jeno membelalak.
"Gue gak butuh uang lo!" hardiknya geram, melempar uang itu yang tepat mengenai wajah tampan Jeno.
Jeno meradang.
"Lo cuma sepik doang, 'kan marah-marah karena gak sengaja ketumpahan minuman gue? Maksud terselubung lo adalah lo mau malak uang gue," desis Jeno menatap balik pada iris kecoklatan si perempuan. "Alasannya ganti rugi."
"Gitu pikir lo?" Si perempuan membalas sarkas. Satu sudut bibirnya terangkat naik. "Gila, ya. Masih aja manusia gak berotak kayak lo dibiarin hidup sama Tuhan."
"What?!" Jeno membelalak lagi. Kedua bola matanya terasa akan keluar. "Kenapa lo malah ngatain gue?"
"Pantes." Perempuan itu menolehkan kepala ke bahu kanannya. Karena kemeja yang kini ia pakai berwarna putih, noda minuman itu jadi membekas dengan jelas.
Jeno mengepalkan tangan. Meremat amarah dan siap menghantamkannya jika saja yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang laki- laki. Sayangnya, mau bagaimanapun emosi menguasai Jeno, memukul perempuan bukanlah prinsipnya.
Ketika Jeno pikir perempuan itu akan segera berbalik pergi setelah diam beberapa waktu untuk memandangi noda di kemejanya, si perempuan berambut sebatas leher itu justru kembali menghujam Jeno lewat tatapan tajamnya.
"Maaf." Kemudian, tatapan itu berubah lunak.
Kesekian kalinya, mata Jeno membesar.
"Gue udah maafin lo, kok. Soal gue ngelempar uang ke muka lo, itu refleks karena gue gak suka dikasihani. Gak suka dianggap buat masalah cuma karena butuh uang. Selagi gue bisa, gue gak akan menerima dari orang lain," tutur si perempuan, yang sorot netranya tak lagi mengintimidasi.
Kini ia terlihat jauh lebih tenang sehingga Jeno mampu menatap garis-garis wajahnya dengan benar. Perempuan ini.. manis juga.
Selanjutnya, perempuan itu benar- benar pergi dari hadapan Jeno. Dan Jeno menyesali beberapa hal yang ia sendiri tak tahu apa.
🌻🌻🌻
Satu chapter gak akan panjang. Karena dari awal niatnya setiap chapter cuma kisaran 500 kata, bisa lebih, tergantung. So, enjoy reading.
Vote dan comment.
instagram | seirasjiwa
KAMU SEDANG MEMBACA
LINDRAKA✔
Genç KurguJeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka. Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...