Kalau pun lelah, berhenti tidak akan merubah. Mundur itu salah. Terima saja, bahu rapuh nanti akan terbiasa.
•●•
"Berkas yang kemarin kamu kirim, sudah ada yang diterima?"
Kalau membahas soal itu, Duwi merasa akan segera menangis.
Rasanya tidak berguna ketika lulus sekolah menengah atas dan tidak memiliki pekerjaan. Lanjut ke jenjang lebih tinggi seperti strata satu tidak termasuk pilihan. Bahkan untuk membayar uang komite bulanan selama sekolah menengah atas dulu, ayah Duwi tidak mampu. Duwi harus bisa bekerja, meski bermodalkan ijazah SMA saja.
Di jaman sekarang pula, mencari kerja bagi mereka lulusan sarjana sangat sulit. Bagi lulusan SMA seperti Duwi, kesulitan menjadi berkali- kali lipat.
Usahanya selama dua bulan ini tidak menghasilkan apa pun.
Danu–Ayah Duwi– menghela napasnya sendiri. Lesung pipinya tertanam di pipi kanan ketika bibirnya mengulum.
"Gak apa- apa. Rezekinya belum datang saja." Hampir begitu setiap kali pertanyaan Danu soal pekerjaan dibalas keterdiaman oleh Duwi.
Duwi selesai menyetrika kemeja putih satu- satunya yang ia miliki. Seharusnya, kemeja itu bisa dikenakan maksimal dua kali sebelum akhirnya dicuci. Namun, karena tumpahan air berperisa jambu tempo hari, Duwi terpaksa mencucinya lebih awal.
"Duwi akan berusaha lebih keras, Yah." Suara Duwi semakin memelan seiring menyentuh akhir kalimat. Tubuhnya masih duduk di lantai semen, tetapi kini sudah menghadap Danu yang bersandar di kasur tanpa ranjang itu.
Senyuman Duwi terukir. "Nanti kalau Duwi berhasil, Ayah akan jadi orang pertama yang tahu. Bahkan tanpa Ayah tanyakan, Duwi yang akan kasih tahu duluan."
Hati Danu teriris karenanya.
"Kita bisa tunda pembelian obat Ayah untuk bulan ini kalau memang tabungan kamu gak cu—"
"Cukup, Ayah, cukup," sela Duwi cepat. Alisnya beradu tidak nyaman. "Memberhentikan pembelian obat Ayah juga gak akan banyak membantu, Yah. Justru Ayah bisa aja semakin terpuruk. Duwi gak mau." Jarak antara ayah dan anak itu terlalu jauh untuk Danu bisa melihat ada selapis bening di iris anak perempuannya itu. "Kalau Ayah pun pergi dengan cara yang sama seperti Ibu, Duwi mau bersandar pada siapa lagi?"
Danu kemudian tersentak ketika Duwi menunduk dan mengusal-usalkan kepalan tangannya ke mata.
"Sstt. Maafkan Ayah." Danu meraba udara kosong. Tak benar- benar bisa menggapai pundak Duwi, terlebih menghampirinya untuk memberikan sebuah pelukan.
Faktanya, untuk pergi ke kamar mandi saja, Danu membutuhkan papahan orang lain.
Hati Danu dirundung rasa bersalah. Kecuali Duwi, Danu tidak memiliki siapapun. Meski begitu, ia juga merasa terlalu memberatkan beban anak perempuannya itu. Di usia semuda ini, yakni delapan belas tahun, Duwi seharusnya tidak berpikir sebegitu keras untuk keberlangsungan hidup mereka hingga keningnya senantiasa berkerut. Danu merasa gagal sebagai Ayah. Merasa muak hidup hanya sebagai beban sang anak.
"Sekali lagi Ayah ngomong begitu, Duwi gak mau ngomong sama Ayah," ancam perempuan dengan rambut sebatas leher itu. Mata serta pucuk hidungnya memerah kala ia mengangkat kepala. Tak luput dari pandangan Danu, bulu mata Duwi juga beberapa helainya menyatu dan basah.
Menghela napas, Danu tersenyum simpul. "Ayah bantu doa, ya."
Duwi mengangguk. "Duwi yang usaha, ya? Ayah jangan ngomong kayak tadi lagi."
"Iya."
"Ya sudah. Mandi, yuk?" Duwi bangkit dari duduk bersila. Ia segera mengambil handuk di bentangan tali rapia di dinding yang berguna sebagai tempat menggantungkan kain dan pakaian.
Sejak tiga tahun lalu, Danu benar- benar menggantung pada anaknya. Bahkan untuk hal sesederhana membersihkan diri, Danu kesulitan untuk mandiri. Berakhirlah Duwi yang akan membawakan sebaskom air, mencelupkan handuk ke dalamnya, memeras, kemudian membasahi seluruh tubuh Danu dengan itu.
Danu melakukan segala aktivitasnya di dalam kamar.
Tidak bisa bergerak. Berpindah sejengkal pun.
Karena itu pula, Duwi benar- benar ditimpa beban berat karena sang ayah tak mampu melakukan apa- apa.
🌻🌻🌻
Pembaca yang cerdas tahu bagaimana menghargai karya orang lain. Terima kasih, ya.
instagram | seirasjiwa
KAMU SEDANG MEMBACA
LINDRAKA✔
Roman pour AdolescentsJeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka. Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...