Jeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka.
Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...
Karena tidak lagi harus mandi pagi-pagi lalu mengenakan seragam untuk berangkat tepat waktu ke sekolah, Juna akhirnya memutuskan untuk memanfaatkan waktu sebelum mentari terik hadir dengan berolahraga.
Rambut Juna jatuh di dahi, warnanya pirang. Ia persis dengan Papanya sewaktu muda. Selain itu, wajah keduanya memang tak jauh berbeda. Sekilas, seperti reinkarnasi.
Tidak ada yang bisa diajak, maka Juna pun memutuskan berlari keliling komplek seorang diri.
Kaus putih polos tanpa lengan bertengger di tubuh, pendampingnya sehelai celana training di atas lutut, juga sepatu olahraga abu- abu gelap. Kakinya silih berganti maju, tempo cepat. Sembari berlari, Juna memokuskan pandangan lurus ke depan. Mengatur napas juga agar tidak mudah lelah.
Awalnya, Juna kira kegiatan berlarinya akan lancar- lancar saja, sampai ia kembali ke rumah. Namun, baru saja Juna akan membelok ke arah jam tiga, seseorang di pinggir jalan itu sontak membikinnya melambatkan laju lari.
Mata Juna memicing. Entah dorongan apa, ia melangkah maju menuju seseorang itu.
Karena hoodie yang orang itu pakai hingga kupluknya menutupi kepala dan separuh wajah, Juna tidak sadar kalau orang itu adalah Nakaisha.
"Lo kenapa?" Juna menyerang Nakaisha dengan pertanyaan begitu ia sampai di dekat gadis itu. Pasalnya, gadis duduk sendirian di pinggir jalan bukan hal wajar di mata Juna.
Sesekali, Nakaisha mengintip, kemudian menunduk lagi. Seolah, menyembunyikan sesuatu pada Juna. Juna diam, menunggu Nakaisha menjawab, atau hingga ia menemukan sesuatu yang janggal.
Hingga, reaksi Nakaisha ketika ujung jemari Juna menyentuh pundaknya membuat Juna tahu, ada yang tak beres dari gadis itu.
Seluruh tubuhnya langsung bergetar, meski tak kentara. Aneh.
"Kai," panggil Juna. Panggilan yang lebih singkat. Nama Nakaisha terlalu panjang jika dieja persuku kata.
Karena gadis itu tak lagi merespons, dan Juna benci dibuat penasaran, ia akhirnya menekuk lutut. Menyejajarkan tinggi dengan kepala Nakaisha.
"Ka—"
"Juna."
Degup jantung Juna berhenti sejenak. Matanya membesar, sarat akan keterkejutan. Juna sampai berkedip- kedip tidak percaya.
"Tolong jangan kasih tahu siapa pun," bisik Nakaisha. Pantas ia menolak menatap. Karena dari jarak sedekat ini, luka- luka di wajah Nakaisha tampak menyeramkan. Lebam di salah satu pelipis, sayatan melintang di atas hidung, juga di bibir bawah.
Lukanya masih basah. Pasti perih jika terkena angin.
"Lo .... kenapa?" Juna tidak bisa berhenti bertanya. Ia tidak bisa memikirkan alasan penyebab luka- luka ini. Apa Nakaisha terjatuh? Tapi, jatuh seperti apa hingga lukanya ada di beberapa bagian wajah, dan justru berbentuk sayatan?
Bibir Nakaisha kelu, pada akhirnya tak ada jawaban yang bisa ia cetuskan. Selama itu, Juna menyentuh pelan luka di hidung Nakaisha, hingga si gadis meringis pelan. Juna ikut merasakan perihnya.
Cepat- cepat Juna memajukan kepala, mengikis jarak hingga hanya tersisa sekitar satu kepalan tangan orang dewasa. Di jarak sedekat itu, Juna meniup pelan luka yang tadi sempat ia sentuh. Meringankan rasa sakitnya, memberi sengatan listrik pada si empunya.
Waktu itu, Juna tidak bermaksud apa- apa, selain membantu Nakaisha melupakan rasa sakitnya. Meski hanya sedikit, juga sesaat.
🌻🌻🌻
Say hi to :
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mungkin masih belum, tetapi mungkin kalian bisa jadi bagian pembaca pertama yang mendukung karya saya ini. Jadi, tinggalkan jejak, vote atau comment. Terima kasih.