Jeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka.
Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...
"Hm.. maaf, Pak. Saya menemui Bapak untuk pekerjaan yang Bapak tawarkan kemarin," ucap Duwi pelan. Kepalanya terangguk- angguk patah, ditemani senyuman yang sungkan.
Pria tambun dengan rambut seluruhnya putih itu justru semakin gencar menggerayangi tubuh Duwi. Tidak sempat memang, Duwi beberapa kali menangkis tangan kasar itu.
Demi Tuhan, jika bukan karena tuntutan ekonomi, keterdesakan harus segera memiliki pekerjaan, Duwi akan segera menumpahkan seisi gelas minumannya pada wajah tua di kursi sampingnya ini. Di lain- lain waktu, harga diri adalah yang terpenting. Berikutnya, di antara kesulitan, Duwi memasrahkan diri pada orang-orang kaya berkuasa.
Barangkali, hidupnya dan Danu akan membaik karena pekerjaan ini.
"Jadi kekasih gelap saya?" Senyuman pria berjas itu menjijikkan. Buru- buru Duwi memalingkan pandangan. Menahan tangis, menahan sakit hati, menahan untuk tidak memekik.
"Bayarannya bisa untuk kamu berfoya- foya," lanjut si pria tua. Bicaranya semakin pelan seiring tubuhnya merapat pada Duwi.
Duwi mencengkeram pegangan kursi kafe. Menutup mata, membiarkan hal-hal berikutnya terjadi tanpa ia lihat.
Namun, suara kursi yang tergeser paksa, kaki tersandung, pekikan orang- orang, dan pukulan benda keras membuat rasa takutnya meluap. Duwi memberanikan diri membuka mata, hingga ia membelalak melihat yang sudah terjadi.
Tubuh tambun itu terjerembab ke lantai. Punggungnya dijejak sebuah kaki berlapis levis denim. Yang terjadi berikutnya adalah ketegangan. Duwi tidak percaya untuk apa yang ia lihat.
Dalam hati, ia menggumamkan terima kasih, syukurlah, dan juga mampus.
Dinaikkannya pandangan, mencari tahu wajah siapa yang ada dibalik tindakan berani ini. Lantas, bentuk wajah itu terlihat.
Rambut pirang tersisir naik ke atas tanpa menutupi dahi, alis tebal, mata kecil tetapi tajam, mancungnya hidung, lekukan bibir sempurna-warnanya juga cerah alami, pahatan dagu yang bagus, juga kulit putih bersih.
Ingatannya yang baik memudahkan Duwi mengenali laki- laki di sana.
"Bajingan," umpat Jeno pelan, tetapi menusuk. Tukikan matanya membungkam suara- suara sepelan apa pun. Dikhususkan untuk pria tua yang akan menyentuh Duwi, beberapa waktu lalu.
Jeno tidak bisa untuk diam saja ketika melihat pelecehan terhadap wanita di sekitarnya.
Entah itu orang terdekat, kenalan, atau asing. Selama perempuan, Jeno merasa punya kewajiban untuk melindunginya. Kecuali, si perempuan memang tidak mau dijaga. Menyerahkan diri.
Suara- suara berisik di arah belakang Jeno membikin Duwi melongokkan kepala. Dua orang pria muda-pemilik kafe dan seorang pelayan- hadir di sana dan salah satunya kontan menarik Jeno menjauh dari si pria tua.
"Duh! Heh, apa yang kamu lakukan? Dia ini pelanggan terbaik saya!" kata si pemilik kafe, menarik- narik lengan jaket kulit Jeno yang sama sekali tidak mempengaruhi posisi laki-laki itu.
Setelah puas menginjak- injak pakaian rapi pria tua itu, menekan- nekan punggungnya hingga si pria berteriak, barulah Jeno meninggalkannya.
Kemudian, Jeno sudah berdiri menjulang di depan Duwi.
Tatapan Jeno dapat diartikan banyak hal. Sendu, marah, kesal, aneh, bahkan jijik.
Dilepaskannya jaket kulit dari tubuh. Jeno memakaikannya pada Duwi, yang pakaiannya kali ini sengaja memperlihatkan bagian tulang selangkanya yang bagus, juga pundaknya yang mulus.
"Tempo lalu, lo bilang gak mau dikasihani. Gak mau diberi. Tapi, hari ini gue tahu lo cuma omong kosong." Selepas berujar dingin seperti itu, Jeno lantas berbalik. Meninggalkan orang- orang dengan bisik- bisik nyata, pria tua yang berteriak akan memperkarakan ini ke polisi, keterpakuan Duwi, juga jaket kulit dengan aroma maskulin yang kini menutup rapat tubuhnya.
Untuk dua patah kata yang harusnya Duwi ucapkan, bibirnya tak kuasa bergerak. Jadilah, tatapan saja yang bekerja. Berucap terima kasih.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.