| Pintu |

88 19 0
                                    

Dengan alasan parcel, Juna berhasil sampai di selasar rumah sebelah.

Parcel itu berisi makanan ringan, ide Jeva yang merasa memberi balasan parcel buah tidak akan bedanya dengan yang diberikan tetangga baru mereka itu. Karena idenya tak buruk juga, sang Mama mengiakan, dan parcel itu berakhir di tangan Juna. Siap diantar.

Hampir tiga menit Juna berdiri diam di depan pintu. Tidak tahu akan mengetuk, menekan bel, atau memanggil. Ia tahu nama salah satu yang tinggal di sini. Namun, setelah pergulatan saran di otaknya, Juna memilih menekan bel saja. Lebih sopan.

Juna mengira sedang tak ada orang di rumah. Sebab tak ada yang keluar meski bel sudah ditekan berulang kali, dalam jeda yang hampir sama. Ia sudah hampir berbalik, hingga suara gesekan papan tak beraturan membikinnya menatap pintu itu.

Nakaisha muncul tatkala pintu terbuka separuhnya.

Cuaca sedang tidak dingin, untuk jadi waktu tepat bagi Nakaisha mengenakan jaket jenis parka itu. Bahkan, ia juga memakai kupluk, sukses membikin Juna terheran-heran ditatap pertamanya.

"Ada apa?"

Juna tersentak sekejap. Rasanya memalukan, jadi ia buru- buru berdehem dan menyodorkan parcel makanan ringan itu pada Nakaisha.

"Dari keluarga gue," beritahu Juna singkat dan berusaha terlihat tidak terganggu. "Omong- omong, rumah lo kelihatan lebih sepi."

Meski jarang bicara, Juna adalah pengamat yang andal. Beberapa waktu ini, sejak Nakaisha dan keluarga pindah, mengamati halaman, juga aktivitas anggota keluarga itu adalah rutinitasnya.

Tidak sopan, sebenarnya.

"Kami sibuk." Nakaisha menjawab seadanya. Seolah ingin pembicaraan ini terhenti sampai di sini saja.

Dan, Juna mengerti akan hal itu.

"Terima kasih," ucap Nakaisha, sebagai penutup.

Juna mengangguk terpatah. Namun, entah sejak kapan, Juna mulai berani untuk masuk ke bagian yang bukan haknya. Seperti pemberontak. Juga ingin tahu lebih banyak.

Dari sedikit celah itu, Juna melihat dinding putih polos, bagian ruang tamu. Benar- benar polos, bersih dari hiasan, bahkan sepajang foto keluarga. Di rumahnya, beberapa bagian dinding diisi setidaknya dua foto. Seluruh, atau hanya beberapa anggota keluarga.

Keluarga Nakaisha tampak tidak suka mengambil potret, mungkin.

Atensi Juna yang dilibatkan penuh pada spekulasi- spekukasi di otaknya, ditarik oleh Nakaisha dengan sebuah deheman singkat.

Juna terkesiap.

"Ada lagi?" tanya Nakaisha dingin. Sejak awal, tak ada garis ramah yang ia tunjukkan. Wajahnya senantiasa lurus- lurus saja, tanpa emosi.

Seperti orang bodoh, Juna menggelengkan kepala. Ia meneguk ludahnya, sebelum kemudian menunduk singkat, lalu berbalik dari hadapan Nakaisha.

Tepat ketika Juna akan menginjak pekarangan rumah Nakaisha, sebuah mobil sedan mengkilap memasuki kawasan tersebut.

Juna berhenti. Matanya berusaha mengenali dua orang di dalam sana.

Bisa jadi, itu orang tua Nakaisha.

Dua orang itu keluar dari pintu yang berbeda. Satu pria, berpakaian jas formal. Juna sering melihat setelan kerja itu terpasang lekat di tubuh Papanya. Satu wanita, berdiri anggun dengan gaun pendek longgar di atas lutut.

Wanita itu terlihat sangat muda, untuk ukuran ibu beranak gadis usia delapan belas tahun.

"Siapa?" Pria itu bertanya ketika tatapnya dan Juna bertemu.

Sadar ia yang diajak bicara, Juna pun mengangguk tak kentara. "Juna, tetangga sebelah."

"Oh, salam kenal, Juna," kata pria itu hangat. Menepuk pundak Juna pelan, berulang kali.

Sebelum benar- benar pergi, Juna sempat mengarahkan matanya lagi pada wanita yang kini bergelayut manja di lengan pria ini.

"Ayo masuuuk," rengeknya manja. Menjijikan di mata Juna.

Melihat perangainya, Juna tidak yakin bahwa wanita adalah seorang ibu dari putri delapan belas tahun.

Melihat perangainya, Juna tidak yakin bahwa wanita adalah seorang ibu dari putri delapan belas tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sesuatu telah terjadi, maybe?

tinggalkan jejak.

terima kasih♡

LINDRAKA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang