Jeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka.
Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...
Tidak ada yang menduga soal hujan. Tadi langit tampak cerah- cerah saja.
Jeno mendesah pendek. Mempernyaman punggungnya di kepala kursi, memeluk dirinya sendiri selama cuaca menjadi sedikit tidak bersahabat. Kaca di samping meja Jeno berembun, beberapa tetes terlihat jatuh di sana. Jeno melihatinya, kemudian mendongak lagi pada langit yang ia kira sedang bersedih itu.
Takdir memang tidak bisa diterka. Selalu saja ada kejutan di setiap jalannya.
Makanannya sudah tandas, minuman Jeno sisa seperempat. Karena itu, Jeno memutuskan untuk membayar. Selama ia berdiri di depan meja bar dan kasir, menunggu transaksinya selesai dilakukan pelayan kafe itu, Jeno melirik pintu hitam di sudut belakang area kasir. Sedetik berikutnya, Jeno mengerutkan kening. Untuk apa juga Jeno terus menerus memandang ke arah sana. Tidak ada yang sedang ia tunggu.
Setelah transaksi selesai, Jeno segera berjalan menuju pintu kafe. Hujan masih membantai jalanan dengan pedih, tetapi Jeno tidak mau terusik hanya karena tetesan air dari langit itu. Ia merogoh saku, diambilnya kunci motor dari sana dan hampir mendorong pintu seandainya tidak ada suara yang menegurnya.
"Sudah mau pulang?" Ketika Jeno menoleh, ia agak terkejut melihat Duwi yang bicara padanya.
"Ya," balas Jeno singkat. Kedua matanya terus memperhatikan kegiatan Duwi yang mengantarkan pesanan pada sebuah meja dengan dua orang pengunjung, hingga gadis itu sampai di dekatnya. Berdiri berhadapan.
"Tapi, hujan." Duwi merenung melihat hujan di luar sana.
"Terus?" Alis Jeno yang kiri terangkat dengan mudahnya.
Tatapan Duwi sepenuhnya beralih pada Jeno. Ia menyuguhkan senyuman hangat, serasi dengan cuaca dingin sekarang. "Gak apa- apa, sih. Tapi, hujan- hujanan gak bikin lo sakit?"
Meski ragu, meski tidak yakin bahwa Duwi kini mengajaknya berbasa- basi, Jeno tetap menggeleng pelan.
"Oh, oke."
Sudah?
Tubuh Jeno membeku, bukan karena dingin menyergap, tapi karena hangat yang hanya sekejap, juga tidak terduga. Mungkin, pandangan Jeno soal Duwi akan segera berubah sebentar lagi. Gadis itu tidak terlihat sinis seperti awal bertemu, tidak seputus asa saat menyerahkan diri pada pria kaya, juga tidak secanggung beberapa jam lalu.
Jeno memang tidak bisa menebak takdir, atau apa- apa yang berkaitan dengannya.
Duwi sudah masuk ke dapur, yang berarti Jeno tidak punya alasan untuk tetap tinggal di sana. Maka, sekali dorongan pada pintu berhasil membuat Jeno sampai di luar kafe. Beberapa tetes hujan langsung menyentuh pakaiannya. Sekali mendongak, Jeno berubah ragu melihat hantaman air- air langit itu.
Haruskah Jeno menunda kepergiannya, dan menunggu lebih lama di dalam kafe?
"Kenapa belum pulang?"
Kontan saja tubuh Jeno terjengit. Ia menatap seseorang yang baru bicara tadi dengan mata yang membulat.
"Eh, maaf- maaf," kata Duwi tidak enak. Ia sampai merasa perlu untuk membungkukkan tubuh kecilnya.
Reaksi seperti itu terlalu berlebihan di mata Jeno.
Jeno menggeleng tidak kentara. "It's ok."
Waktu selanjutnya, mereka sudah berdiri di depan kafe, agak ke samping dari pintu masuk.
"Lo mau ke mana?" Jeno bertanya lewat suara rendahnya yang menyeruak berat.
"Pulang."
Jeno menatapnya. "Kerjaan lo udah selesai?"
"Di sini, iya."
Jawaban Duwi yang langsung pada inti, membuat semakin banyak pertanyaan bergemul di pikiran Jeno.
"Di sini?" Jeno tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
Kalau dilihat, pakaian Duwi memang sudah berganti menjadi training hitam semata kaki juga hoodie abu- abu. Rambutnya masih tetap sama. Di punggung Duwi juga duduk sebuah tas merah yang kumal. Jeno sangsi sudah berapa lama tas itu digunakan.
Duwi mengangguk, tatapannya membalas Jeno. "Ganti sip kerja. Jadi, hari ini selesai di sini. Lanjut malam nanti ke kedai Pak Thalib, kedai kecil di dekat pasar. Gue juga kerja di sana."
"Kerja di beberapa tempat, dalam satu hari?" Jeno mengulangi tak percaya. Lalu, Duwi mengangguk dengan secercah senyum beserta lesung pipinya.
Jeno tidak tahu, tidak peduli bagaimana bisa. Namun yang jelas, paras berhias senyum manis Duwi, terlalu menghangatkan di bawah tetesan air hujan ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sudah jatuh cintakah kalian dengan Lindraka yang satu ini?
Ketika kalian sampai di tulisan ini, aku mau bilang, terima kasih.
Berapapun dukungan kalian, aku berucap terima kasih banyak- banyak, ya.
Mari kita bertemu lebih sering dalam bagian lain.
So, tinggalkan jejak♡
Jeno Lindraka ingin menyapa,
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.