| Longgar |

125 28 5
                                        

"Semuanya akan baik- baik aja."

Duwi mendesah ke sekian kalinya, setiap kali Jeno menggumamkan kalimat itu, menyuruh hatinya tenang.

"Kita ini gak akan bisa, Jen." Duwi akhirnya menyuarakan pemikiran. Disuapi kata- kata manis seperti itu tidak akan selalu berhasil memperbaiki kegelisahan. Jeno setidaknya harus tahu pendapat Duwi sendiri.

"Kamu, aku. Kita ini gak bisa."

Yang terulang terus kalimat itu. Membikin Jeno memanas, hampir memukuli kepalanya sendiri. Inginnya bertubi- tubi, sampai rasa peningnya hilang. Namun, menyakiti diri sendiri sama dengan membuat Duwi marah. Jeno tak mau.

Kenapa takdir senang sekali mempermainkan hidup Jeno, juga Duwi?

Mereka baru saja akan bahagia, melukis tawa setelah sekian lama terbelenggu sesak. Selanjutnya, justru asa mereka dihempaskan kuat- kuat. Hampir hancur. Jeno berusaha mendekapnya, tatkala Duwi sudah pesimis, tahu tak ada harap.

"Kalau Ayah pun pergi, bagaimana dengan hidup aku selanjutnya, Jen?" Tanya itu diiringi isakan halus dari bibir yang Jeno sukai. "Aku gak punya siapa- siapa lagi selain Ayah."

"Kamu punya aku," cetus Jeno meyakinkan. Kedua tangannya naik ke bahu rapuh Duwi, menepuk, meremat pelan, membelai. Melakukan apa pun untuk membuat isakan gadis paling Jeno kasihi itu reda.

"Bahkan kamu juga akan pergi," balas Duwi tak kuat.

"Aku gak akan begitu."

"Mama kamu bisa melakukan semuanya. Menyandera Ayah kalau kutolak berpisah dari kamu, memisahkan kita dengan imbalan Ayah dikembalikan," papar Duwi dengan segukan- segukan kentara, juga air mata berderai nyata. "Aku harus memilih."

"Aku gak mau ditinggal kamu." Kini, Jeno yang bersuara paling lirih. Lembut sentuhan telapak tangannya kini menggenggam tangan Duwi. Diremat. Seolah, ia tak bisa melakukannya nanti- nanti. Duwi seperti akan pergi, jika Jeno bahkan hanya sekadar mengedip.

"Waktu kalian habis."

Jeno menggeram dan lantas bangkit untuk menunjuk wajah wanita yang bersuara barusan.

"Cukup! Lo gak ada hak melakukan ini!" Mata Jeno menghunus setajam pedang. Gertakan giginya terdengar. Tubuhnya bergetar menahan amarah.

"Oh, saya berhak." Farah tersenyum sinis. "Saya harus menjaga reputasi keluarga saya. Membiarkan kamu bersama gadis miskin, nama saya bisa tercemar."

Tubuh Jeno akan maju, tetapi sentuhan Duwi pada pergelangan tangan laki- laki itu cukup untuk membuatnya menahan diri lebih keras.

Duwi menegakkan tubuh. "Saya mohon ...." Ia sendiri bahkan tidak tahu memohon untuk apa. Mata sembapnya mewakilkan segala rasa sakit yang ada.

"Apa pilihanmu, Duwi?" Kedua lengan kurus Farah menyilang di dada. Wajahnya diangkat, seolah kelasnya jauh lebih tinggi dibanding siapa pun. Angkuh, sinis, kejam.

Tidak ada pilihan yang bisa menenangkan hati Duwi, juga melegakan rasa takut Jeno. Nyatanya, Jeno sudah tahu, dan ia tak siap untuk dipatahkan ke sekian kali.

Di balik tubuh Jeno, di antara dua tubuh yang kalut dihujani takut, genggaman tangan keduanya mengerat. Duwi meminta maaf secara tak kasat, sementara Jeno memohon untuk tidak ditinggalkan.

"Saya mau Ayah ...." bisik Duwi pelan. Sangsi terdengar.

Namun, ruangan sunyi ini cukup membuat Farah mendengar jawaban terbaik itu.

Senyum Farah membentang sempurna. "Oke."

Jeno menangis saat itu juga. Tak kuasa lagi menahan, bahkan ketika Duwi menarik tangannya dari pegangan Jeno. Menarik diri dari keterpakuan Jeno. Berlari sambil menenteng tas dan masuk ke kamar, tempat Danu disembunyikan.

Pertahanan Jeno luruh.

Decakan- decakan remeh itu Farah bunyikan, sembari tubuhnya mendekat pada Jeno. Tatapannya mengkasihani.

"Kamu memang gak pernah diinginkan, oleh siapa pun."

Baru kali ini, Jeno setuju akan ucapan Farah.

Baru kali ini, Jeno setuju akan ucapan Farah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang, sesak memang tak ada habisnya. Menyiksa. Menumbuhkan lara.

Tinggalkan jejak.

Terima kasih.

LINDRAKA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang