Jeno Lindraka terbiasa dengan fakta bahwa ia anak haram. Lahir dari dua orang tanpa pernikahan. Sepanjang hidupnya, Jeno tidak pernah benar- benar punya tujuan. Lingkar hidupnya selalu soal luka demi luka.
Juna Lindraka baik- baik saja meski hanya b...
Agenda hari- harinya selain akhir pekan, adalah berolahraga, mengantar Jeva ke sekolah, mandi, sarapan, lalu berangkat kuliah.
Hari ini ada pengeculian. Tidak ada jadwal kuliah, yang berarti Juna punya banyak waktu luang setelah sarapan. Kalau bisa juga, Juna akan menyelesaikan naskah ceritanya, yang tertunda sejak beberapa hari lalu karena tidak memiliki ide.
Kini, ia sudah mandi dan berpakaian berupa kaus abu- abu lengan pendek, juga celana training hitam bergaris putih.
Juna tidak menyisir rambutnya yang basah, hanya ia usak seadanya menggunakan jemari. Sebelum menuju ruang makan, Juna berpikir untuk memanaskan mesin motornya terlebih dahulu. Karena itu, ia pun berbelok seusai menuruni anak tangga terakhir.
Kehadiran beberapa orang di ruang tamunya membuat Juna terjengit.
Wajah- wajah itu tidak asing, Juna kenal semua. Paling tidak ia ragukan, Nakaisha yang duduk terdiam di tengah- tengah dua orang. Kanan, ada pria tua yang Juna ingat ia temui saat mengirim parcel ke rumah sebelah. Lalu di kiri, wanita yang tempo lalu memberi tamparan pedas pada Nakaisha.
Puluhan pertanyaan segera menyerang Juna, berwujud menjadi kerutan- kerutan di dahinya.
Mama dan Papa duduk di depan tamu itu. Mama menoleh, senyumannya lebar ketika melihat Juna ada di sana.
"Kakak, ini tetangga kita. Bapak dan Ibu Zuchman. Yang di tengah, itu anak mereka, Nakaisha," kata sang Mama yang wajahnya memang senantiasa hangat. "Ayo sini dulu."
Anggukan kepala Juna terpatah. Selama kakinya berusaha mengikis jarak, tatapnya beberapa kali melirik wajah- wajah di sana. Sekali, ia terperangkap pada iris Nakaisha yang gelap, tak bersinar, padam. Juna tidak tahu mana kata yang tepat untuk menggambarkannya.
Juna kemudian melukis senyum kecil seraya membungkukkan tubuh.
"Saya Juna," katanya memperkenalkan diri.
"Tampan ya anaknya, seperti ayahnya." Juna mendongak ketika suara tawa anggun wanita itu terdengar.
Alis kiri Juna segera naik, tidak terlalu senang pada eksistensi wanita yang jika Juna lihat, segera membuatnya ingat soal tamparan di wajah cantik Nakaisha.
Kesan pertama Juna akan dua orang yang duduk di samping Nakaisha itu tidak terlalu baik. Sebabnya, Juna sangsi akan keramah- tamahan yang mereka tampilkan saat ini.
Apakah kepura-puraan semata?
Di antara itu, Nakaisha duduk dengan punggung tegak. Garis wajahnya datar. Tak ada rona di kedua pipi. Tak ada gemintang indah di iris hijaunya. Nakaisha memang sulit dilihat tersenyum, bahkan sekecil apa pun.
Selain itu pula, kalau mereka ini orang tua Nakaisha, lantas pasangan yang masing- masing mereka gandeng kemarin, siapa?
Wanita muda yang cantik, juga pria dewasa yang kekar?
Juna tidak mengerti. Terlalu banyak pertanyaan di dalam pertemuan yang singkat ini.
"Bukannya kita pernah bertemu ya, Nak Juna?" Pertanyaan itu meluncur dari mulut Pak Zuchman, yang kini setelan pakaiannya hanya berupa kemeja putih berdasi biru, juga celana kain hitam.
"Iya," balas Juna cepat. Haruskah ia tanyakan hal lain juga? Soal siapa wanita yang kemarin Pak Zuchman bawa ke rumah beliau?
Juna tidak bisa menahan rasa penasaran, tetapi ia tahu batasan. Bertanya seperti itu, tidak akan sopan.
Ia kemudian memutuskan untuk mengukir senyuman tipis saja.
"Anak kami yang paling kecil, masih sekolah." Papa bersuara, mencari topik pembicaraan lain. "Lainkali, kami akan berkunjung dan ajak dia juga."
"Bagus. Kami tunggu, ya," balas Ibu Zuchman, yang sekali lagi, senyumannya ramah juga bersahaja.
Di kepala Juna, senyuman itu menutupi sesuatu, ramah itu menyamarkan sebuah hal. Ada yang tidak benar, ada yang tidak baik- baik saja.
Barangkali, kebingungan Juna terjawab begitu iris Nakaisha berlapis sebening air, yang buru- buru gadis itu hilangkan dengan mengerjap berulang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ah, masih bertemu di bagian ini. Terima kasih sudah setia dan masih membaca dengan dada menghangat. So, berikan dukungan kalian pada penulis yang masih tertatih ini, hehe.
Thank you.
Mau berkenalan? Follow akun instagram | seirasjiwa
Juna Lindraka ingin menyapa,
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.