Duapuluh Tujuh - Bertemu

666 57 2
                                    

Juliet menghembuskan nafasnya pelan setibanya ia di ruang istirahatnya. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan mengambil naskah yang terletak di meja, membaca-bacanya lagi.

"Nggak makan siang sama Romeo?" tanya Kiya, manajernya, begitu mendapati artisnya itu duduk seorang diri di tengah waktu istirahat syuting ini. Kiya sebenarnya heran dengan hubungan Juliet dan Romeo, kata Juliet mereka masih bersama dan tidak ada masalah sama sekali, tapi sikap mereka sama sekali tidak menunjukan ciri-ciri orang yang menjalin hubungan lebih.

"Lo tahu kan, seberapa seriusnya Romeo kalau sudah di lokasi, gue nggak mau jadi clingy. Profesional aja lah" jawab Juliet dengan senyum santainya.

Kiya mengangguk-angguk, "Profesional? Yang gue ingat terakhir kali lo jalan sama Romeo udah setahun yang lalu. Gue nggak pernah denger lo teleponan, dan gue yakin chat pun bisa dihitung dengan jari dalam seminggu."

Juliet masih mempertahankan senyumnya, "Kita sudah umur berapa, Ki. Bukan jamannya lah yang chat setiap saat. Yang penting saling percaya dan saling support saja. Gue yang ngejalanin aja santai kok."

Kiya menatap artisnya itu heran, "Wow, gue nggak tahu lagi harus ngomong apa. Lo bilang saling support? Gue tanya deh, Romeo support lo dalam bentuk apa? Nyemangatin lewat chat, pernah? Ngasih apresiasi ini-itu, pernah? Dateng ke premiere acara-acara lo, pernah?" ejeknya.

Senyum Juliet seketika luntur. Jika sudah seperti ini, ia sudah tidak bisa memberi pembelaan apa-apa lagi. Juliet tidak suka membagi permasalahannya kepada orang lain, tapi mungkin, kali ini ia perlu mendapat pencerahan.

"Terus, gue harus apa, Ki?"

Kiya terkejut mendengar pertanyaan itu, ditambah lagi nadanya yang terdengar lemas itu. Artisnya itu tidak pernah menunjukan kelemahan atau masalahnya sebelumnya. Ia selalu menunjukan sosok dirinya yang ceria dan sisi hidupnya yang sempurna. Padahal ia kira sindirannya hanya akan ditanggapi senyuman seperti biasa, Kiya pun tidak memiliki intensi apa-apa saat berkata demikian.

Ia melirik jam tangannya dan melihat bahwa mereka masih punya waktu dua jam untuk istriahat kali ini. Gadis itu menarik kursi kedepan Juliet dan menatap artis yang sudah dianggapnya saudara sendiri kasihan.

"Gue tanya deh, lo selama ini pernah minta nggak ke dia? Ngomong aja, Jul, lo mau digimanain. Kalau dia memang mau perjuangin hubungan kalian, dia pasti bakal berusaha. Selama permintaan lo masih masuk akal."

Juliet menunduk, ragu ingin bertanya, hingga akhirnya memutuskan menanyakan semua unek-uneknya sekaligus. "Ki, lo masih sama Devan, kan?" tanya Juliet menyebutkan nama kekasih manajernya itu.

Kiya mengernyit tapi mengangguk juga, "Masihlah, kenapa?"

"Itu... Lo kontakan sama dia intensitasnya seberapa? Kan lo sibuk, dia juga sibuk."

"Hm, karena gue sama dia jam kerjanya nggak pasti. Sering crash jadwal sih, kita chat jarang banget, tapi biasanya nyempetin telpon gitu kalau seharian nggak ada kabar. Atau maksimal dua hari lah."

"Ngilang berhari-hari gitu, nggak pernah?"

Kiya menggeleng, "Sama sekali nggak ada kabar ya nggak. Tapi kalau sama-sama sibuk, at least sehari ada call lima menit, atau chat gitu lah meski sepenggal-sepenggal, balesnya lama. Pernah sih, bener-bener sibuk, selama seminggu gitu kita nggak pernah telepon, terus chatnya dibawah sepuluh bubble gitu per harinya," mata Kiya menyipit, "Lo nggak chatan lama, ya?"

"Tapi, Romeo kan memang punya kebiasaan matiin ponselnya selama syuting. Jadi nggak kontakan beberapa bulan gitu, harusnya kan harus gue ngertiin?"

For Life (Completed✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang