"Lo kaya pacaran sama Siri, ya, Cha. Mesti dipanggil duluan." Aku dan Shalitta tertawa karena ucapan Qiandra.
Aku mengalihkan pandanganku dari laki-laki yang sudah menjadi pacarku selama hampir setahun ke belakang itu. Aku nggak pengen kepergok lagi ngelihatin dia seperti orang mupeng. Sudah cukup jatuh harga diriku karena selalu jadi yang menghubunginya duluan. Aku sudah menetapkan. Aku nggak akan menghubunginya duluan sampai dia yang mencariku.
"Gue jadi penasaran. Sebenarnya selama setahun ini kalian komunikasinya kaya gimana?" Tanya Shalitta.
"Ya, gitu deh. Lebih mirip wartawan kayak lagi wawancara narasumber gitu gue. Gue sampai pada tahap ngenes karena bilang sama dia sekali-sekali gue pengen jadi narasumbernya."
Kedua sahabatku sejak hari pertama kuliah itu kompak terbahak.
"Lagian dari awal, kan, semua orang udah tahu kalo Pasha setengah arca. Kenapa juga lo pacarin?" dengkus Shalitta.
"Kurang dzikir kali gue. Jadi kena guna-guna deh." Aku mendesah pasrah sambil mengangkat bahu.
"Terus udah hari ketiga, nih, nggak berhubungan sama sekali?" Shalitta mencoba mengonfirmasi sekali lagi.
Aku mengangguk. "Bodo amat, lah. Kita tunggu aja dia cariin gue apa nggak," aku berdecak sebal membayangkan kemungkinan dia tidak akan mencariku sama sekali. "Kalau nggak, ya, gue cari pacar baru!"
Qiandra dan Shalitta semakin tertawa.
"Gue jamin dia nangis darah, sih." cibir Shalitta.
"Siapa? Pasha?"
"Yuhuu." Shalitta mengulas cengiran lalu menghabiskan teh botol di hadapannya.
Aku mendengkus. "Ngarep."
Qiandra dan Shalitta saling bertatapan. Keduanya terlihat menahan tawa tanpa berucap apa-apa.
Aku melirik sebentar ke arah laki-laki itu. Pria berkaki jenjang, dada yang bidang, dan berambut potongan taper fade itu sedang bersandar santai di salah satu tiang kantin. Kaos putih yang dipadukan dengan kemeja flanel yang tidak dikancing selalu jadi outfit andalannya. Terlihat biasa, tapi kalau Pasha yang mengenakan, jadi luar biasa. Ya ... walaupun kata Shalitta dan Qiandra, di mataku doang, sih. Di mata mereka tetap biasa saja.
Tawa yang terulas di wajahnya membuatku semakin teriris. Tampaknya dia tidak merasa kehilangan aku selama dua hari ini.
"Ada juga gue kali yang nangis darah," aku mulai mewek meski nggak ada air mata. "Perlu di rukiyah nggak, sih, gue?"
"Halah! Bucin amat, sih! Nggak cocok, Cha! Cari yang lain aja! Banyak yang mau, kok!" Seru Qiandra memaksaku untuk diam.
"Terus ngapain dong gue setahun sama dia? Jagain jodoh orang?"
"Yaelah! Baru juga setahun! Lagian nggak semua yang datang dalam hidup kita, tuh, ditakdirkan untuk menetap. Kadang emang garis hidupnya cuma ditakdirkan untuk sekedar mampir!" Sahut Shalitta sok bijak. "Udah, deh, nggak usah alay. Kalau nggak betah, putusin aja!"
KAMU SEDANG MEMBACA
INFIDELITY
Romance[Bukabotol #1] Hampir setahun Icha berpacaran dengan Pasha, ia setia menunggu manusia es balok yang sangat dingin itu untuk menghangat dan mencair. Namun ironisnya manusia es balok itu baru mulai mencair ketika Icha membawa api dalam hubungan merek...