4 | Radar

10.1K 1K 31
                                    

Tidak terasa sebulan sudah aku menjalani magang dan juga LDR dengan Pasha

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak terasa sebulan sudah aku menjalani magang dan juga LDR dengan Pasha. 

Magangku berjalan lancar, tapi tidak dengan hubungan jarak jauhku dengan Pasha. Pasha yang berjanji akan berubah, ternyata tidak menepati janjinya. Ia masih tidak pernah menanyakan kabar duluan. Ia tidak pernah berusaha membuat pembicaraan kami lebih panjang. Hubunganku dengan Pasha selalu kehabisan kata-kata.

Perbedaan waktu yang sangat signifikan membuat pertukaran pesan kami semakin hari semakin mengenaskan. Setiap aku mengirimkannya pesan, ia akan menjawab satu atau dua jam kemudian.

Aku selalu menelpon Pasha, tapi jarang sekali dia bertanya soal hariku, bagaimana pekerjaanku, seperti apa teman-teman kantorku. Selalu aku yang bertanya dan dia menjawab.

"Pash, disana jam berapa?" tanyaku di telepon. "Di sini jam 7 malam."

"Jam 1 siang." jawab Pasha singkat.

"Oh," gumamku sambil menggaruk-garuk kepala karena bingung harus membicarakan apa lagi. "Terus asyik nggak disana? How's your day?"

"Biasa aja."

"Kalau biasa aja ngapain kamu mau sekolah disana?"

"Yang mau, kan, Mama."

"Oh, iya." Aku menggaruk kepalaku sekali lagi. "Kamu lagi apa?"

"Lagi tiduran aja. Nunggu Mama lagi belanja."

"Kok kamu nggak ikut?"

"Males. Mending di rumah, baca buku."

"Emang lagi baca buku apa?"

"Biografinya Genghis Khan."

"Oh," aku menggigit bibirku sambil menghembuskan napas panjang frustrasi.

Aku menunggu Pasha untuk memulai balik bertanya, tapi tidak ada tanda-tanda Pasha peduli dan ingin tahu apapun tentang aku.

Aku hendak menyerah dan memutuskan untuk menyudahi pembicaraan yang bertepuk sebelah tangan ini ketika tiba-tiba Pasha akhirnya bertanya, "Itu ... siapa?"

Aku terperanjat kaget. Sontak aku celingak-celinguk ke segala arah di kamarku.

"Apaan, sih, Pash?! Jangan nakut-nakutin, deh." seruku ngegas karena takut. Masa sebulan di Inggris Pasha jadi cenayang, gitu? Bisa lihat sesuatu yang ada di kamarku? Seketika aku jadi merinding.

"Hah?" Pasha terdengar bingung. Lalu tidak lama kemudian terdengar suara tawa kecil dari seberang telepon. "Kamu kira aku lagi nerawang kamar kamu?"

"Emang nggak?"

"Nggak. Sejak kapan aku bisa nerawang," dengkusnya sambil menahan tawa. "Ngelawak mulu, sih?"

"Terus, itu siapa apa maksudnya?"

Pasha terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Itu ... yang di Instastory kamu."

"Hah?"

"Yang kamu repost. Ada kamu lagi ketawa-ketawa sama cowok." jelasnya.

"Oh ... itu bos aku. Dika."

Aku memang habis repost instastory temanku di kantor. Aku sedang tertawa terbahak-bahak bersama Dika karena temanku, Vanny, salah satu Product Admin di timku, bilang bahwa tampaknya printer kantorku tidak bisa berfungsi kalau pakai kertas bekas. Aku dan Dika ngakak karena memikirkan dari mana si printernya tahu coba kalau itu kertas bekas?

"Kenapa emangnya?" tanyaku.

Pasha tak langsung menjawab. Namun, ia malah balik bertanya, "Umurnya berapa? Kayaknya masih muda banget."

"Ih, kok nggak sopan nanyain umur?" Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya. "Setahu aku 35."

"Oh ..." gumam Pasha pelan.

"Kenapa?" aku bertanya sekali lagi.

"Nggak apa-apa," jawabannya membuatku bingung. Aku dan Pasha sama-sama terdiam selama 3 detik sebelum akhirnya Pasha melanjutkan, "Akrab banget."

Aku terkesiap dengan mulut menganga. "Kamu ... cemburu?"

Pasha terdiam lagi seperti biasa, sebelum akhirnya menjawab dengan singkat, "Iya."

"Tumben." Aku mengulum senyum yang rasanya ingin tersungging lebar jumawa.

"Aku selalu cemburu kali kalo kamu deket-deket cowok."

"Mana ada, ya? Peduli aja nggak."

"Terserah, deh." Pasha menghembuskan napas panjang. "Emang deket banget, ya?"

"Biasa aja."

"Masa?"

"Ya, deket karena dia atasan langsung aku aja, Pash. Tiap hari kerjanya sama dia. Kadang kalo jadwal meeting padat, ya, bisa sama dia seharian."

"Berarti deket banget, kan?"

"Biasa aja. Nggak banget," degup jantungku mulai tak berirama. "Emang deket banget, tuh, definisinya kaya gimana, sih?"

"Pulang bareng?"

Degup jantungku semakin memacu. "Hm, kadang."

"Kok nggak pernah cerita?"

"Kamu nggak nanya."

Pasha terdiam lagi. "Hmm ... lain kali cerita-cerita, ya, kalo pulang atau pergi sama Dika."

"Izin dulu sama kamu maksudnya? Kamu aja lama bales WA aku. Bisa dua, tiga jam."

"Mmmm ... nggak ..." Pasha terdengar bingung. "Ya udah, lupain aja, lah."

Ucapan Pasha membuat napasku terasa lebih lega. "Makanya tanya-tanya kali ceweknya apa kabar. Kantor aku isinya cowok semua. Teman aku di kantor hampir nggak ada ceweknya. Siapa tahu kamu nanyain Dika, tapi aku dekatnya ama yang lain?"

"Radar aku jitu, kok. Aku tahu yang mana yang harus diawasin."

Aku langsung tertegun. Perasaanku semakin gugup. Aku nggak ngerti. Kenapa Pasha bisa menebak sejitu itu hanya karena satu instastory?

"Tuh. Rupanya kamu langsung diem."

Damn!

"A—aku mingkem soalnya kesel. Kamu ngomong irit. Giliran banyak, yang keluar curigaan kaya gini." Sahutku panik. "Ya, udah. Aku mau makan malam dulu sama mama."

Pasha menghembuskan napas panjang. "Okay."

Saat aku hendak menutup telepon, tiba-tiba Pasha memanggil lagi.

"Cha ..."

"Hm?"

Pasha terdiam beberapa detik hingga akhirnya menggumam ragu. "Tetap sama aku, ya."

Jantungku mencelos. Susah payah aku mencoba meredam kobaran api yang sedang diam-diam aku mainkan. Namun, tampaknya bau hangusnya tetap tercium meski kucoba sembunyikan.

Dika memang sialan.



—————❤️‍🔥❤️‍🔥❤️‍🔥—————

INFIDELITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang