Aku sedang berjalan santai sambil memeluk laptopku ketika tiba-tiba Dika datang entah dari mana menabrakkan tubuhnya padaku dengan sengaja dan langsung membawaku masuk ke dalam ruang meeting terdekat.
"Apaan, sih!" protesku padanya yang sedang menggeser pintu ruang meeting hingga tertutup rapat.
Untung saja saat ini waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Kantor sudah mulai sepi dan di sekitar ruang meeting ini tidak terlihat ada yang orang memperhatikan kegilaan Dika barusan.
Dika menghela napas panjang sebelum akhirnya berbalik menghadapku.
"Kamu ngehindarin aku?" tanya Dika dengan ekspresinya yang terlihat jelas menahan kesal walau ruangan ini gelap dan hanya bercahayakan bias lampu dari luar.
"Nggak. Perasaan kamu aja." Aku membuang muka.
"Jangan bohong, Cha. Kamu nggak jawab semua chat aku. Nggak angkat telepon aku. Bahkan sekarang ini kamu nggak mau lihat muka aku."
Jantungku mulai berdegup kencang. Namun aku berusaha semampuku untuk tetap mengatur emosi.
"Perasaan kamu aja, Dik. Aku nggak ngehindarin kamu. Kamu sendiri yang lagi sibuk, kan." jawabku seraya menatapnya tajam.
"Terus kenapa chat aku nggak dibalas?" Tanyanya lagi. "Dari hari Sabtu, lho, kamu nggak balas chat aku. Sekarang udah hari Selasa, kalau kamu nggak sadar."
"Lupa." Aku kembali melengos karena tak bisa berbohong sambil menatap matanya.
Dika tertawa getir. "Lupa? Aku udah neror kamu sampai kaya stalker. Nggak mungkin kamu lupa, Cha."
"Udah lah, Dik. Nggak usah diperpanjang. Emang kamu ada perlu apa? Ngomong aja sekarang. Atau, ya, kalau nggak urgent-urgent banget, bisa ngomong di weekly meeting kita kayak biasa. Besok, kan?"
Dika mengernyit kesal. "Apaan sih, Cha? Ini bukan tentang kerjaan!"
"Kalau bukan tentang kerjaan, sorry Dik, kayaknya kamu nggak punya hak buat nuntut aku ini itu," jawabku sebelum kemudian melangkahkan kaki menuju pintu untuk keluar.
Dengan cepat, Dika langsung bergerak ke arah pintu untuk menghalangi jalanku.
"Dik, aku mau pulang. Jam kerjaku udah selesai."
"Cha, kamu kenapa sih?!" Bentak Dika dengan sangat kencang.
Aku tersentak kaget dengan suaranya yang tiba-tiba menggelegar.
"Kamu gila, ya?! Bisa kedengeran sama orang, tahu nggak?!" desisku seraya mendelik kaget padanya.
"Bodo amat!" sahutnya masih dengan suara yang lantang. "Aku nggak peduli! Biar aja orang dengar—"
"Kecilin suara kamu atau aku nggak mau ngomong lagi sama sekali sama kamu!" ancamku sambil mengacungkan jari telunjuk di depan wajahnya.
Dika mengusap wajahnya dengan satu tangan. Ia mulai terlihat frustrasi. "Kamu kenapa, sih, Cha? Aku ada salah apa? Jangan diam aja. Kasih tahu aku! Kalau aku ada salah, aku minta maaf. Jangan cuekin aku, dong, Cha. Aku nggak suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
INFIDELITY
Romance[Bukabotol #1] Hampir setahun Icha berpacaran dengan Pasha, ia setia menunggu manusia es balok yang sangat dingin itu untuk menghangat dan mencair. Namun ironisnya manusia es balok itu baru mulai mencair ketika Icha membawa api dalam hubungan merek...