5 | Tentang Dika

11.3K 989 81
                                    

Mahaprana Bratadikara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mahaprana Bratadikara. Dika. Bosku selama magang di Le Voyage. Laki-laki tampan dengan senyum menawan yang menyelamatkanku dari lift sialan yang membingungkan.

Beberapa orang bilang ia kurang menyenangkan. Namun, semua omongan yang disampaikan padaku tersebut tidak sesuai kenyataan. Nyatanya dia orang yang menyenangkan dan—yang paling tidak pernah terpikirkan—perhatian.

Hal satu ini adalah hal yang tak aku perhitungkan. Hal yang paling sialan.

"Mas Maha, aku kedinginan. Udahan, yuk, meetingnya?" Usulku di tengah meeting one-on-one yang tak kunjung selesai sambil mengusap-ngusap kedua lenganku.

"Kalo sambil ndusel-ndusel, sih, hangat pasti, Cha." sahutnya asal sambil sibuk berkutat dengan laptopnya. Tipikal Dika yang nggak pernah serius kalau aku ajak bicara.

Selama sebulan bekerja bersama Dika, kami berdua sudah terbiasa saling menghina dan menggoda satu sama lain sebagai candaan. Makanya kalau orang bilang dia nggak menyenangkan, aku bingung karena, sama aku, Dika malah nggak pernah serius.

"Kamu tahu nggak, ya, bisa lihat code of conduct kantor kita dimana?"

"Hah?"

"Aku pengen tahu tata cara melaporkan bos genit itu gimana," jawabku seraya membuka Slack channel yang bersinggungan dengan HRD.

Kontan tawa Dika pecah hingga terbahak-bahak sambil menoyor kepalaku.

"Tuh, kan. Nambah lagi jadi kekerasan fisik!" Seruku sambil menepis tangannya. "Suka banget, sih, nempeleng kepala aku! Kamu, tuh, nggak diajarin, ya, kalo kepala anak yatim, tuh, harusnya diusap bukan ditempeleng!"

"Idih! Kode?"

"Ngapain aku kode sama om-om kayak kamu, hah?!"

Dika langsung meraup wajahku hingga rambutku menutupi wajah. Aku terkikik geli tanpa dosa.

"Udah, ah. Pusing kepalaku dengar ocehan kamu. Bawel!" Dika menutup laptop dan beranjak berdiri.

"Yeee, daritadi juga aku udah bilang udahan, yuk! Kamunya malah nggak gerak-gerak!"

"Bawel."

"Om-om."

Dika kembali meraup wajahku sambil tertawa sebelum kemudian ia melangkah keluar ruangan.

Beberapa kali aku mendesis kedinginan dan mengusap kedua lenganku untuk membuat tubuhku lebih hangat. Ketika aku baru meletakkan pantatku di kursi, tiba-tiba saja ada yang mendarat pelan di atas kepalaku hingga menyelimuti kepala dan menghalangi pandanganku.

Dengan terkejut, aku langsung mengambilnya dan melihat barang tersebut.

Jaket.

"Makanya pake baju jangan tipis-tipis! Meriang, kan!" cibir Dika dari belakangku. "Pake, tuh."

INFIDELITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang