"Kamu udah sampe villa?" tanya Dika di seberang telepon.
"Udah, nih. Villanya luas banget. Jadi pengen liburan di sini sama kamu."
Aku dan teman-temanku baru saja sampai villa di kawasan Bogor—tempat kami akan menginap bersama dalam rangka liburan semester ganjil. Sambil menelpon Dika untuk mengabari bahwa aku sudah sampai, aku berjalan-jalan mengitari villa.
"Jangan lama-lama, dong, di sana." ucap Dika lembut.
"Aku cuma sehari, Dik, di sini!" jawabku sambil terkekeh.
"Kalau kamu perginya sama dia, sehari kayak setahun, Cha." sahutnya lesu dan membuatku menghembuskan napas panjang. "Pokoknya ingat aku terus di sana, ya."
"Aku udah simpan stok foto kamu yang banyak di handphone, kok. Ntar kalo mulai lupa, langsung aku pelototin."
Dika mendengkus dan aku terkikik geli.
Tanpa sadar aku sudah berjalan mengitari villa dan sekarang sudah ada di bagian depan villa.
"Tadi aku telponan sama Mala," ucap Dika menyebut nama salah satu adiknya. "Dia cerita soal masku."
Kakiku melangkah ke ruangan samping yang menghubungkannya dengan garasi. Di sana adalah tempat dimana semua teman-temanku menurunkan barang-barang sebelum nantinya akan dibantu oleh penjaga villa untuk ditaruh di kamar atas.
"Masmu?"
"Hm," Dika menggumam. "Pas aku bilang aku mau nikah, Mala bilang kalau masku juga abis ngasih tahu bapak ibuku kalau dia mau nikah."
"Oh, iya? Senang, dong, bapak kamu. Dia, kan, udah ngebet banget punya mantu."
"Tergantung. Mantunya kayak apaan dulu," sahut Dika singkat. "Masku suka bikin masalah. Nggak tahu, deh, tuh, cewek mana yang mau dia bawa."
"Kalian kayaknya nggak deket, ya?"
"Nggak terlalu. Waktu SMA, sih, deket, tapi sejak dia dikirim ke Amerika jadi agak renggang. Dia narik diri dan aku juga jadi malas deket-deket dia," jawab Dika terdengar tak acuh. "Kata Mala, sih, dia ngomong sama ibu dan bapak kalau kita semua kenal sama calonnya. Makin bingung aku. Orang dia nggak pernah punya pacar yang dibawa ke rumah dari dulu."
"Lah, iya?"
"Hm. Ternyata udah beberapa bulan ini dia pindah kerja ke Jakarta, tapi kata ibu dia emang beli apartemen sendiri, makanya nggak tinggal di rumah Pondok Indah."
"Coba kamu telepon, Dik. Gimana pun juga itu, kan, kakak kamu. Perhatian dikit coba." saranku.
"Ya, besok aku telepon deh. Aku pengen tanya dia serius apa nggak. Biar aku nggak mesti nunggu lama-lama buat nikahin kamu."
Aku terkekeh mendengar suaranya yang terdengar seperti lagi manyun. Namun, tawa dan langkahku seketika terhenti ketika aku melihat pemandangan yang sangat mengejutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
INFIDELITY
Romance[Bukabotol #1] Hampir setahun Icha berpacaran dengan Pasha, ia setia menunggu manusia es balok yang sangat dingin itu untuk menghangat dan mencair. Namun ironisnya manusia es balok itu baru mulai mencair ketika Icha membawa api dalam hubungan merek...