Aku duduk di salah satu meja kosong yang telah diberikan oleh pelayan Sushi Hiro. Saat aku duduk, aku pikir Dika akan duduk di hadapanku, tapi entah kenapa, Dika malah duduk di sebelahku.
Semenjak adegan bollywood—nangis-nangis di dadanya—minggu lalu, aku semakin nggak bisa santai setiap berdekatan dengan Dika. Jantungku selalu mendadak rusuh ketika dia mendekatiku.
Aku ingin bertanya kenapa dia harus duduk di sebelahku, tapi bisa-bisa aku malah terlihat norak. Dika berhak duduk dimana saja semau dia. Aku yang harusnya nggak terlalu ambil pusing hanya karena bahu kami yang bersentuhan.
"Ini kamu nggak punya teman apa, ya, Dik? Tiap Jumat malam, kok, ya, minta temenin makan sama aku," dumelku. "Aku pengen juga sekali-kali jalan sama teman aku, tahu."
Dika yang sedang sibuk dengan ponselnya langsung mengunci ponselnya itu dan menoleh padaku. "Ya, aku? Emang aku bukan teman kamu?"
"Bukan!" Aku mendengkus seraya menoleh padanya dengan sinis.
Dika mengalihkan pandangannya kembali ke ponsel sambil mengangkat bahu dengan tak acuh. "Iya, sih. Aku bukan teman, ya. Aku, kan, selingkuhan."
Jantungku rasanya seperti mendadak berhenti berdetak. Aku termenung, tak mampu bersuara setelah mendengar jawaban ngawurnya barusan.
Apa tadi dia bilang? Selingkuhan?
"Teman aku, tuh, pada sibuk. Udah pada nikah semua," ucap Dika sambil kembali sibuk dengan ponselnya.
"Ya, kamu nikah juga, lah."
"Iya, tapi sama kamu, ya?"
Aku yang sedang menatap lurus ke depan memperhatikan tiga laki-laki familiar yang sedang berbincang dengan seru di seberang ruangan langsung terpegun.
"Kamu beneran naksir aku, ya, Dik?" ledekku ketika pelayan menghidangkan sushi stairs di meja.
"Iya." jawab Dika dengan singkat dan tak acuh. Ia sibuk menempatkan piring di hadapanku, menuang soy sauce di sana. "Cukup nggak?"
Aku kehilangan kata-kata.
Bagaimana bisa Dika sesantai ini setelah mengacak-acak ritme jantungku? Seolah ucapannya tidak ada artinya.
Atau ... memang nggak ada?
"Kebanyakan nggak? Kurang?" tanyanya saat membubuhi soy sauce milikku dengan bubuk cabai.
"Udah, udah." jawabku.
Dika mengambil sumpit dan langsung memberikannya padaku sebelum kemudian dengan luwes ia mempersiapkan makanannya sendiri.
Sekujur tubuhku seolah dialiri hangat yang asing dan belum pernah kurasakan. Ucapannya terus terngiang-ngiang dan nggak bisa kulupakan. Dalam hatiku yang paling dalam, ada harap terlarang yang menginginkan semua yang ia katakan bukan hanya candaan. Namun melihat Dika yang begitu santai membuat aku berpikir ulang. Apa mungkin Dika memang expert di bidang membuat perempuan baper dan salah paham? Dia bisa begitu tenang seperti nggak habis melakukan apa-apa, sedangkan aku di sini belingsatan. Semudah itukah Dika menjadikan perasaanku mainan?
KAMU SEDANG MEMBACA
INFIDELITY
Romance[Bukabotol #1] Hampir setahun Icha berpacaran dengan Pasha, ia setia menunggu manusia es balok yang sangat dingin itu untuk menghangat dan mencair. Namun ironisnya manusia es balok itu baru mulai mencair ketika Icha membawa api dalam hubungan merek...