10 | Sakit

9.2K 846 32
                                    

"Sayang," dahiku mengernyit ketika mengangkat telepon dari Dika dan yang pertama kali kudengar adalah kata itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sayang," dahiku mengernyit ketika mengangkat telepon dari Dika dan yang pertama kali kudengar adalah kata itu. "Turun, dong. Aku di depan."

Aku langsung lompat dari atas tempat tidurku dan menuju jendela untuk mengintip ke depan rumah.

"Ngapain?!" Tanyaku dengan terperangah karena melihat mobilnya yang terparkir di seberang rumah tetanggaku.

"Kangen, elah."

"Kemarin, kan, udah kesini?! Masa tiap hari kesini?!" seruku nggak habis pikir.

"Ya, kamu udah dua hari nggak masuk kantor. Aku khawatir," jawab Dika. "Masih meriang nggak badannya? Nggak biasa-biasanya sampe izin sakit dua hari gini."

"Udah mendingan, Dik. Besok aku masuk, kok," aku mencoba meyakinkannya dengan nada bicara yang masih sok ketus padahal dalam hati ingin tersenyum. "Udah, pulang sana."

"Icha. Sayangku. Rumah kamu, tuh, di Ciledug. Aku di Pondok Indah. Kantor kita di SCBD. Kamu kebayang nggak ini aku udah jauh-jauh kesini terus kamu turun aja nggak, malah langsung nyuruh aku pulang?"

Aku langsung mengerang kesal, tapi berusaha tetap sabar. "Bawa buah tangan nggak? Kalau nggak, aku malas turun."

"Jangan banyak request. Buru turun atau aku ketok, nih, pintu rumahnya."

"Awas kalau berani-berani!" Ancamku dengan sewot.

Aku nggak mau Dika bertamu ke rumah. Aku takut mama malah banyak pertanyaan. Mama, kan, tahunya pacarku itu Pasha.

"Buruan, sayaaang!" Rengek Dika seperti anak bayi.

"Sabar!" Aku langsung mengakhiri teleponku dan berdecak kesal.

Aku berjalan menuju cermin dan merapikan rambutku. Aku menyisirnya hingga benar-benar halus, tidak ada yang kusut seperti habis bangun tidur. Aku mengambil lip balm lalu mengolesnya tipis agar aku tidak terlalu terlihat pucat.

Merasa sudah cukup cantik dan imut, aku yang sedang bercermin langsung tersadar, untuk apa aku sampai segininya hanya untuk bertemu dengan Dika?!

Dengan frustasi, aku kembali mengacak-acak rambutku karena aku tidak mau ketahuan sengaja dandan hanya untuk bertemu dengan dia.

Aku berlari ke bawah dengan sangat cepat, tapi kemudian berhenti tepat sebelum aku membuka pintu untuk mengatur ekspresiku agar tidak terlihat terlalu antusias saat menghampirinya.

Aku memasuki mobilnya dan langsung disambut oleh cengiran lebarnya yang sangat sering membuat jantungku keluar dari irama.

"Halo, sayang." Sapanya dengan manis sambil mengelus lembut rambutku.

"Mana buah tangan buat aku? Kamu pasti diajarin, kan, kalau jenguk orang sakit harus bawa sesuatu?"

Dika mengangkat sebuah bungkusan kertas berwarna putih dengan senyum lebar.

INFIDELITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang