Aku berdecak kencang sambil kembali melihat jam tanganku, dan—entah untuk keberapa ratus kali—aku mengecek ponselku.
Nihil. Tampaknya Dika lupa total dengan janjinya untuk menjemputku hari ini. Dia sudah telat satu jam, dan tidak ada sama sekali kabar apakah dia sudah jalan atau masih terjebak meeting.
Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Kampus bahkan sudah mulai gelap dan sepi. Hanya tinggal segelintir anak-anak aktif di kampus yang tersisa. Langit yang sedari siang mengguyurkan hujan deras membuat semua orang ingin cepat-cepat sampai rumah atau kosan.
Dengan jengkel, aku memutuskan untuk menghubungi Vanny.
"Halo?"
"Van, Dika masih di kantor nggak, sih?!" tanyaku dengan ketus saking sebalnya.
"Bentar gue cek mejanya," jawab Vanny. Ia terdiam beberapa saat untuk mengecek meja Dika, sebelum kemudian kembali berbicara, "Tas dia masih ada, sih. Kayaknya masih meeting, deh."
"Astaga ..." aku langsung menepuk dahiku sambil menghembuskan napas panjang frustrasi.
Mendengarnya, Vannya tertawa. "Ada pesan?" tanya Vanny yang sepertinya sudah bisa menebak situasi.
"Ada," jawabku ketus. "Go to hell!"
"Okay, sister. Ntar gue sampaikan dengan baik." Vanny semakin cekikikan.
"Thanks, ya, Van." ucapku mengakhiri telepon.
Emosiku rasanya begitu menggelegak. Bukan sekali ini saja Dika begini. Meski sudah berkali-kali aku peringatkan untuk tidak lupa mengabari, masih saja kejadiannya terulang lagi.
Dengan begitu kesal, aku mengetik pesan pada Dika.
Tavisha Auristela Deolinda
Aku pulang!
Singkat, padat dan jelas kalau aku marah.
Aku memasukkan kembali ponselku dan menengadah menatap langit yang masih saja bergemuruh. Tetes gerimis masih sedikit deras, membuatku kebingungan bagaimana harus pulang.
Nggak ada pilihan lain. Aku mulai melangkah dan nekat untuk menerobos hujan. Aku harus ke pinggir jalan kalau ingin menyetop taksi. Mencari taksi online di sore hujan begini, sama saja kayak berharap dapat Bentayga seharga 9M secara cuma-cuma—mimpi doang!
Namun, ketika aku sudah hendak berlari menerobos hujan, tiba-tiba tanganku ditarik hingga aku hampir terpeleset. Jika orang yang menarikku tidak sigap melingkarkan tangannya di pinggangku, pasti aku sudah menggelepar di lantai.
"Pash?" aku terkesiap kaget saat menyadari ternyata Pasha pelakunya.
"Sorry, Cha." gumamnya sambil melepas pelukannya di pinggangku. "Kamu mau kemana? Kok hujan-hujanan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
INFIDELITY
Romance[Bukabotol #1] Hampir setahun Icha berpacaran dengan Pasha, ia setia menunggu manusia es balok yang sangat dingin itu untuk menghangat dan mencair. Namun ironisnya manusia es balok itu baru mulai mencair ketika Icha membawa api dalam hubungan merek...