First Night?

9.5K 492 35
                                    


Acara sederhana itu telah selesai beberapa jam yang lalu. Naila pun sudah mengganti kebaya yang dia pakai tadi dengan pakaiannya seperti biasa. Baju panjang yang dia padukan dengan rok di atas mata kakinya. Sebenarnya beberapa hari yang lalu, Arven sempat memberinya uang untuk berbelanja. Namun, dia tidak menggunakan uang itu karena merasa pakaiannya masih layak pakai. Meskipun tidak sebagus dan semahal pakaian yang biasanya melekat di tubuh Arven.

Naila terbiasa memakai pakaian sederhana karena memang tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli pakaian bermerk. Dia juga tidak pernah shoping serutin orang kaya yang harus ada dalam sebulan. Dia hanya akan membeli pakaian, jika pakaiannya yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Baginya, mencari uang itu sulit. Sehingga dia tidak boleh menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak begitu perlu.

Mereka berasal dari keluarga sederhana bahkan cenderung tak mampu. Ayah Naila adalah seorang buruh bangunan dan sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan ibunya merupakan pedagang makanan kecil-kecilan di depan rumah. Naila sendiri gadis berusia dua puluh tahun yang hanya lulus SMA. Dia tidak dapat melanjutkan kuliah karena tak mempunyai biaya. Naila cukup pintar tapi masih ada yang lebih pintar lagi di atasnya, sehingga dia tidak mendapatkan beasiswa. Jadilah setelah lulus sekolah, dia hanya membantu ibunya berjualan atau membuka jasa cuci pakaian untuk tetangga dekat rumahnya.

"Mbak Sekar yakin gak mau ikut tinggal di sini?" tanya Indira pada wanita yang sudah menjadi besannya. Dia memanggil Mbak pada Sekar karena memang ternyata lebih tua besannya itu.

"Enggak, Indira. Saya akan tetap tinggal di kontrakan kami," jawab Sekar seraya tersenyum. Dia tidak ingin menyusahkan keluarga Arven dengan ikut tinggal bersama mereka.

"Apa Mbak gak bakalan kesepian di sana sendirian? Lebih baik Mbak ikut tinggal di sini," bujuk Indira lagi namun Sekar tetap teguh dengan pendiriannya.

"Kamu jaga diri ya, Nak." Sekar dan Naila pun berpelukan sebentar. Berat rasanya bagi Naila terpisah rumah dari ibunya. Namun, ibunya sendiri yang menolak tinggal di rumah keluarga Arven.

"Kalau ada waktu, kalian mainlah ke rumah," ujar Sekar pada Arven. Dia cukup tahu diri untuk tidak menyuruh Arven menginap karena menantunya itu pasti tidak betah ada di rumahnya.

"Iya, Bu."

"Biar Mbak sekar diantar sopir aja ya. Sekarang udah malem, takutnya nanti ada apa-apa di jalan."

"Gak usah, Indira. Saya bisa pulang naik angkot kok."

"Biar Arsen aja yang nganter ibunya Naila, Ma."

"Yasudah."

***

Setelah kepergian Sekar dan juga Arsen, mereka semua hening dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Arven beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah menuju kamar. Damian yang melihat anaknya itu pergi ke kamar pun langsung menyusul. Dia merasa ada yang perlu dia bicarakan dengan anaknya itu.

"Ada apa lagi, Pa? Arven capek," ujar Arven lebih dulu ketika menyadari kehadiran papanya.

"Papa cuma mau minta, akhiri kebiasaan kamu yang suka mempermainkan wanita. Saat ini kamu sudah menikah dan menjadi seorang suami, Arven. Hargai istri kamu."

"Oh ya? Lalu apa dulu papa menghargai mama?" sinis Arven. Papanya berkata seperti itu seolah tidak ingat apa yang sudah dilakukan pada mamanya dulu.

"Itu gak seperti apa yang kamu pikirkan, Arven. Papa sama mama kamu itu dulu-"

"Stop, Pa! Aku tau kalau papa hanya akan membela diri. Aku jelas melihat dengan mata kepala aku sendiri papa berselingkuh dengan istri baru papa itu!"

Crazy AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang