Aletta Quenina Thaleeta

8.3K 592 30
                                    

Urusan mengenai biaya administrasi dengan mudah sudah Arven selesaikan. Mereka pun hanya tinggal menunggu kabar selanjutnya mengenai orang yang akan mendonorkan ginjalnya. Setelah dokter selesai memeriksa ibu wanita itu, Arven pun pamit ke ruangannya untuk melakukan tugasnya seperti biasa. Dia masih ada jadwal untuk memeriksa beberapa pasiennya.

Arven memutuskan untuk tidak memberitahu Velo mengenai hal ini. Dia tidak ingin sahabatnya itu malah mengolok-ngoloknya karena dengan gilanya sudah menawarkan perjanjian pernikahan pada wanita yang bahkan tubuhnya sempat dia hina di depan Velo sendiri. Dia membiarkan saja Velo tahu dengan sendirinya. Toh dia mengajak wanita itu menikah pun tanpa dia sadari, bukan karena dia mencintai wanita itu.

"Cuma demam biasa aja kok. Gak ada penyakit yang serius. Saya akan tuliskan resep sirup untuk obat demamnya. Jangan lupa diminum ya jagoan," Arven mengusap rambut anak laki-laki itu setelah dia selesai memeriksanya. Dia pun menuliskan resep obat lalu menyerahkannya pada orang tua anak itu.

"Terima kasih, Dokter Arven."

"Sama-sama, Bu. Jangan lupa obatnya diminum 3x sehari. Kalau bisa juga, anaknya diperbanyak makan buah dan sayur biar daya tahan tubuhnya kuat."

"Iya, Dokter."

***

Selepas jam kerjanya usai, Arven pun memutuskan untuk pulang saja. Dia ingin mengistirahatkan tubuh dan juga pikirannya yang terasa lelah. Dia masih tak percaya mengapa bisa-bisanya menawarkan syarat pernikahan pada wanita itu. Padahal masih banyak cara lain agar wanita itu bisa membalas budinya. Tidak harus dengan menikah.

"Gue kayaknya udah gila...," lirih Arven. Bagaimana bisa orang yang tak pernah berkeinginan menikah sepertinya tiba-tiba menawarkan pernikahan. Benar-benar luar biasa.

"Gue harus bisa mengendalikan dia nanti, jangan sampai dia yang malah ngendaliin gue. Gak akan gue biarin dia nyusahin hidup gue," gumam Arven.

Arven memutuskan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu dia pun ingin langsung tidur.

***

Keesokan harinya seperti biasa Arven datang pagi ke rumah sakit. Dia selalu berangkat pagi karena tak ingin melihat wajah-wajah memuakkan itu di rumahnya. Dia bahkan tak perlu repot-repot untuk sarapan di rumah.

"Dokter Arven perasaan sarapan di kantin mulu, kayaknya memang sudah waktunya Dokter buat cari istri. Biar sarapannya istri yang nyiapin, Dok."

Arven hanya tertawa kecil untuk menanggapi ucapan penjaga kantin di rumah sakit itu. Dia mengabaikan topik istri dan memilih berterima kasih untuk makanan yang dibawakan penjaga kantin.

"Dokter Arven 'kan orangnya baik. Saya yakin kalau yang bakal jadi istri Dokter nanti juga baik. Soalnya 'kan orang bilang jodoh itu cerminan diri kita, Dok."

Lagi-lagi Arven tertawa. Baik? Ya mungkin bagi orang yang tidak benar-benar mengenalnya akan mengatakan seperti itu. Berbeda jika sudah kenal siapa dia sebenarnya. Mungkin pandangan mereka akan berbeda dan mengatakan yang sebaliknya, kalau dia hanyalah laki-laki brengsek yang suka mempermainkan wanita.

"Terus kalau orang jahat jodohnya juga jahat dong, Bu?" tanya Arven menanggapi. Kalau benar jodoh itu cerminan diri sendiri, berarti jodoh Arven tak beda jauh darinya. Namun bukannya dia tidak ingin menikah? Rasanya tidak penting mau seperti apa jodohnya.

"Bukan gitu juga sih, Dok. Kalau orang jahat tapi berniat memperbaiki diri bisa aja dapat jodoh yang baik. Semua itu tergantung niatnya, Dok."

Arven menganggukan kepalanya pertanda mengerti. Dia pun mulai menyantap sarapannya ketika Bu Mirna, penjaga kantin itu pamit untuk membereskan pekerjaannya yang lain.

Crazy AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang