Adzan pertanda waktu ashar tiba telah berkumandang beberapa waktu yang lalu. Naila pun baru saja selesai shalat ashar dan sedang melipat kembali mukena yang tadi dia pakai. Dia sangat ingin shalatnya diimami lagi karena terakhir bapaknya lah yang mengimami shalat mereka. Selebihnya dia hanya shalat berjamaah ketika di Mesjid.
Naila memutuskan keluar dari kamar untuk melihat pekerjaan apa yang bisa dia bantu. Rasanya sangat membosankan hanya berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Ingin rasanya dia mengunjungi ibunya, tapi dia tidak sempat izin pada Arven. Biar bagaimanapun di agama mereka mengajarkan kalau istri harus meminta izin pada suami setiap ingin pergi keluar. Sedangkan dia tidak mempunyai nomor ponsel Arven untuk menghubunginya sekedar meminta izin.
Langkah kaki Naila sampai ke ruang belakang. Di sana rupanya ada bik Mumun yang sedang menyetrika pakaian. Dia pun menghampiri dan berniat membantu.
"Gak usah, Non. Mending non istirahat aja. Biar bibik yang nyetrika. Ini sudah jadi tugas bibik."
"Gak papa kok, Bi. Lagian aku ga ada kerjaan. Aku bantu bibik aja."
Naila tetap teguh dengan pendiriannya ingin membantu bik Mumun. Dia menyentrika kemeja yang sepertinya milik Arven dengan hati-hati, karena dia tahu harganya pasti mahal. Sangat jauh berbeda dengan pakaian yang dia gunakan sehari-hari. Mungkin antara pakaiannya dan pakaian bik Mumun masih lebih mahal pakaian bik Mumun.
Beberapa waktu kemudian, mereka selesai dengan pekerjaan itu. Semua pakaian sudah disetrika. Bik Mumun pun pamit untuk meletakkan pakaian itu ke tempatnya semula. Sementara Naila memilih untuk pergi ke ruang tengah di mana mama mertuanya sepertinya sedang menonton televisi di sana.
Hari sudah mulai sore saat Damian sudah pulang dari pekerjaannya. Dia menghampiri Indira dan mengecup puncak kepala istrinya itu. Naila pun hanya tersenyum melihatnya. Meskipun sudah tidak muda lagi, namun papa dan mama mertuanya itu tetap terlihat harmonis.
***
Naila terkesiap ketika merasakan tubuhnya dipeluk seseorang dari belakang. Dia yang ingin menaiki tangga untuk masuk ke kamar pun menolehkan kepalanya. Dia bisa bernapas lega saat mengetahui yang memeluknya adalah Arven, suaminya sendiri dan bukan orang lain. Namun, keningnya mengkerut bingung mengapa Arven tiba-tiba memeluknya seperti ini.
Tubuh Naila mendadak kaku karena ini pertama kalinya dia dipeluk laki-laki. Meskipun Arven adalah suaminya, tapi mereka tidak sedekat itu sampai-sampai Arven mau memeluknya.
Dia juga bisa merasakan hembusan napas hangat Arven di lehernya yang membuat tubuhnya meremang. Lalu, dia terdiam ketika tiba-tiba Arven mengecup pipinya. Sontak saja hal itu membuat jantung Naila berdegup kencang karena ini adalah ciuman pertamanya meski hanya sekedar di pipi. Lalu bisikan Arven setelahnya kian membuatnya membeku seiring dengan Arven yang membawanya menaiki tangga menuju kamar mereka.
Entah mereka sadari atau tidak kalau Arsen memperhatikan. Arsen merasa hatinya panas ketika melihat dengan mata kepalanya sendiri abangnya memeluk dan mencium pipi Naila. Dia juga bisa melihat kalau Naila sempat terdiam dan menatap abangnya lekat. Kalau seperti ini ceritanya dia tak yakin kalau Naila tidak akan jatuh cinta pada abangnya.
Perasaan Arsen semakin resah ketika Arven mengajak Naila ke kamar. Dia jadi bertanya-tanya apa yang akan dilakukan oleh abangnya itu. Sementara yang dia tahu kalau Arven sama sekali tidak tertarik pada Naila.
***
Arven melangkahkan kakinya dengan santai menuju ruang keluarga. Dia menyalakan televisi untuk melihat-lihat acara yang sedang ditayangkan.
"Lo apain Naila, Bang?"
Kening Arven bertaut bingung ketika mendapat pertanyaan seperti itu. Dia pun menolehkan wajahnya ke samping untuk menatap Arsen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Agreement
RomanceWarning 21+ Arven (27 tahun) adalah laki-laki bebas yang tak suka terikat hubungan serius. Dia merupakan seorang dokter anak yang menyukai aktivitas membuat anak, namun tidak menginginkan kehadiran anak itu. Dialah laki-laki yang suka berkelana dari...