Be Caught

6.4K 452 81
                                        

Naila perlahan-lahan mulai mengerjapkan matanya. Dia meraih jam weker di atas nakas yang ternyata sudah menunjukkan pukul lima lewat lima belas menit. Dia pun langsung bangkit dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.

Wajah Naila masih sedikit basah karena air wudhu begitu dia keluar dari kamar mandi. Dia pun melangkahkan kakinya memutari kasur yang ditiduri Arven. Dia berniat membangunkan Arven untuk mengingatkannya shalat subuh. Siapa tahu saja kalau sekarang suaminya itu mau shalat.

"Dokter... Udah subuh. Shalat dulu, Dok," ujar Naila seraya menggoyang bahu Arven. Dia kembali mengulangi ucapannya saat melihat Arven yang menggeliat namun hanya mengubah posisi tidurnya saja dan tidak berkeinginan untuk bangun.

"Dokter ayo bangun. Udah subuh..."

"Berisik!"

Arven menepis tangan Naila yang menyentuhnya. Dia juga menutupi wajahnya menggunakan bantal dan melanjutkan tidur. Sementara Naila hanya menghela napas pasrah. Dia pun akhirnya membiarkan saja Arven tidur lagi. Sementara dia berniat untuk shalat.

Setelah selesai shalat dan berdoa, Naila pun keluar dari kamar untuk menuju dapur. Dia ingin kembali membantu mama mertuanya dan Bik Mumun memasak meskipun mungkin nanti Arven tetap tak mau sarapan di rumah.

***

"Naila..."

Naila yang baru saja meletakkan piring yang berisi lauk pauk di atas meja makan sontak mengangkat wajah ketika mendengar namanya dipanggil. Dia pun tersenyum tipis ketika tahu Arsen lah yang menyapanya.

"Ternyata kamu, Sen."

"Memangnya kamu pikir siapa? Abang aku?"

Naila mengernyitkan keningnya ketika mendengar nada bicara Arsen yang seperti asing di telinganya. Biasanya Arsen selalu ramah dan lemah lembut. Tapi mengapa tadi dia bisa mendengar nada datar keluar dari bibir pemuda tampan itu?

"Enggak kok," kilah Naila.

"Kamu gak kenapa-napa 'kan, Nai?"

"Memangnya aku kenapa?" tanya Naila seraya mengernyitkan kening pertanda tak mengerti. Seingatnya dia baik-baik saja. Tapi mengapa Arsen bertanya seperti itu?

"Abang aku... dia gak nyakitin kamu 'kan?"

"Enggak kok, Sen. Dokter Arven ga nyakitin aku. Terima kasih karena kamu perhatian sama aku."

"Jelas aku perhatian sama kamu, Naila. Biar bagaimanapun aku masih cinta sama kamu. Aku belum bisa menerima kenyataan kalau kamu sudah nikah sama abang aku. Apalagi aku tau kalau kalian gak saling mencintai. Aku mau tanya satu hal sama kamu, Naila. Please kamu jujur sama aku. Kamu juga cinta 'kan sama aku?"

Naila terdiam karena tak tahu harus merespon Arsen seperti apa. Kalau ditanya soal perasaan mungkin dia memiliki perasaan yang sama pada Arsen. Tapi soal status, mau tidak mau dia sudah menjadi istri Arven.

"Aku mohon kamu jujur kalau kamu juga mencintai aku, Naila. Biar aku bisa berusaha dan memperjuangkan kamu. Aku yakin kalau kita bisa bersama."

Naila tersentak ketika pergelangan tangannya diraih dan digenggam oleh Arsen. Laki-laki itu menatap matanya lekat dan penuh permohonan. Naila sendiri seakan tidak tega melihatnya.

"Ehem!"

Suara deheman itu menyadarkan Naila kalau apa yang dia lakukan saat ini salah. Dia pun langsung melepaskan tangannya dari genggaman tangan Arsen. Dia juga sedikit mundur dan menjauh dari laki-laki yang mengatakan cinta padanya itu ketika Arven melangkah mendekat.

"Apa pantas yang kamu lakuin ini, Arsen? Kamu berusaha merayu dan menggoda istri dari abang kamu sendiri?" tanya Arven tajam. Dia mendekati Naila dan langsung merengkuh bahunya. Sementara bibirnya melengkungkan senyum sinis ketika melihat kehadiran papanya.

Crazy AgreementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang