Sekelilingnya adalah rerumputan, pohon, dan langit senja yang cerah. Rumah-rumah dan gedung tinggi tampak kecil di bawah sana.
Sunghoon mengangkat tangannya di atas mata, menghalau sinar matahari agar ia bisa mengamati di mana sekarang ia berada. Seumur hidup, Sunghoon belum pernah datang ke padang rumput seperti ini, banyak sekali ilalang, apalagi dengan menggunakan seragam sekolah.
Kenapa juga ia berakhir di sini, Sunghoon tidak mengerti. Mungkin kaki-kakinya yang membawanya datang ke padang rumput ini, Sunghoon sendiri tidak tahu ada tempat semacam ini di daerah rumahnya. Mungkin Sunghoon harus sering-sering berjalan-jalan keluar daripada mendekam di rumah.
Di tengah-tengah padang rumput, ada sebuah danau kecil dan pohon maple besar di sisinya. Mata Sunghoon melebar senang, dibawanya kedua kakinya berlari mendekat. Duduk di tepi danau sambil menyelupkan kaki di air sepertinya tidak akan salah. Ia mencatat dalam hati untuk membawa Jake dan Jay kemari untuk sekedar piknik dan bernyanyi bersama dengan gitar milik Jake.
Mendadak lari Sunghoon terhenti tiba-tiba ketika kedua matanya menangkap seseorang duduk bersandar di akar pohon maple yang mencuat dari tanah. Seseorang itu sedang membaca buku dengan tenang. Karena angin, rambut cokelatnya yang lembut tersapu pelan. Karena angin pula, Sunghoon bisa melihat wajah siapa itu.
Bahkan mungkin, jika tidak ada angin pun, Sunghoon tetap tahu siapa seseorang itu. Dari caranya duduk, meluruskan kaki dan menumpukan salah satu kakinya di atas kaki yang lain, Sunghoon tahu siapa seseorang itu.
Tapi Sunghoon takut. Takut bahwa ini hanya ilusi yang diciptakan di dalam kepalanya dan seseorang itu akan pergi dalam sekali kedipan mata. Sunghoon terus melangkah tanpa berkedip. Ia takut untuk berkedip. Ia takut seseorang itu hilang begitu saja.
Namun angin lagi-lagi berhembus dan mata Sunghoon sedikit gatal karena serbuk sari. Secara insting, Sunghoon menutup mata dan menggosoknya beberapa kali. Ketika matanya terbuka lagi, seseorang itu masih ada.
Sunghoon tidak bermimpi. Seseorang itu bukan ilusi.
Bahkan seseorang itu lebih dulu menoleh karena merasakan ada yang mendekat. Napas Sunghoon tercekat di tenggorokan. Mata mereka saling bersitatap. Sunghoon tahu seragam yang dipakai adalah seragam yang sama dengan seragamnya. Dan name tag yang terpasang rapi di dada kiri.
Lee Heeseung.
"Sunghoon," Heeseung tersenyum, "aku menunggumu, kenapa lama sekali? Ditahan di kelas karena tugas, ya?"
Sunghoon merasa lidahnya kelu. Senyum Heeseung masih sama hangatnya. Masih sama mengirimkan sinyal-sinyal yang membuat kupu-kupu berterbangan di perut Sunghoon. Dan Sunghoon melihat senyum itu di depan matanya.
Sesuatu meledak dalam diri Sunghoon, membuat pemuda itu kebingungan untuk mengontrol diri, namun pada akhirnya menyerah dan berakhir membiarkan seluruh instingnya mengambil alih, ia menghambur memeluk Heeseung. Melompat dan keduanya jatuh ke rumput, tapi Sunghoon tidak peduli. Ada Heeseung di hadapannya. Heeseung yang ia cintai dan dirindukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember | HSH🎻
أدب الهواة[COMPLETE] Ketika penyesalan mendominasi segalanya, dia pikir mati adalah jalan terbaik. Dulu Sunghoon mengabaikan bahkan membenci cahaya-nya, Lee Heeseung. Sekarang? Dia telah kehilangan cahaya penerang itu. Lee Heeseung telah hilang, tidak kembal...