2. Bus Cabe

50 22 41
                                    

Lesya menyibak keringat di dahinya dengan tangan. Beginilah keadaan Kota Jakarta di siang hari, panasnya poll!

Arya yang berada di samping kiri Lesya iseng mencolek lengan atas Lesya membuat mata Lesya mengerling tajam. Kemudian, Arya mendekatkan mulutnya ke telinga Lesya hendak berbisik, “Lo ... nggak khawatir, gitu?”

“Khawatir karena?” balas Lesya acuh tak acuh.

“Katanya, orang Indo yang tinggal di luar negeri itu, pas balik lagi ke Indonesia sipatnya sembilan puluh sembilan persen bakal berubah,”

Ujung mata Lesya melirik tajam pada Arya. “Jangan kompor, deh!” protes Lesya, “lagi pula Gisel sekolah ke luar negeri ada baiknya buat Girls. Girls jadi punya anggota yang suaranya merdu nggak ketulung dan otaknya berisi. Nyanyinya bener nggak kayak lo asal teriak bikin telinga tetangga iritasi aja,” cerca Lesya, kemudian matanya kembali tenang menonton Gisel yang tengah berpamitan pada keluarganya.

“Sembarangan lo kalau ngomong!” sungut Arya tak terima.

“Nggak nerima fakta, hih!”

Pandangan Lesya dan Arya saling beradu menciptakan percikan kebencian.

“Itu jalan buat Gisel meraih mimpinya untuk jadi penyanyi sukses, Ar. Kita nggak ada hak untuk melarang,” ujar Rhea yang diam-diam menguping.

Arya hanya bergumam mendengar jawaban Rhea yang serius itu. Sejujurnya dia hanya kesal karena didiamkan. Makannya dia jadi kompor.

Tak lama dari itu tampak Gisel berjalan ke arah mereka. Rambutnya terombang ambing cantik. Nakun, matanya menatap sinis satu cowok yang sedang tersenyum tengil ke arahnya.

“Ngapain lo di sini?” tanya Gisel dengan nada tak sedap.

“Lo ngusir gue?” tanya Arya memelas.

“Dia itu sopir pribadi kita, Sel,” ujar Lesya seenak jidat diakhiri smirk jahil.

“Enak aja! Ini nih, teman lo nggak modal banget minta dianterin segala. Royalti hasil penjualan novel lu mana, hah!” cerca Arya tak terima.

“Biasa, adikku disunat. Musnahlah semua uangku,”

“Miris, ya,” ledek Gisel.

“Sabar, Sya. Itu UTS!” ucap Rhea mengeluarkan suara.

“Ujian, Rhe!” ralat Gisel, Lesya, dan Arya bersamaan.

“Udah, ah. Bentar lagi pesawatnya take off. Aku pamit, ya. Jangan pada berantem mulu!” tutur Gisel.

“Siap bos!” seru ketiganya bersamaan. Mereka kompak menyimpan empat jari tangannya di depan dahi membentuk hormat.

Gisel merentangkan tangannya untuk memeluk dua sahabatnya. Begitu pula dengan Rhea dan Lesya, membalas pelukan Gisel dengan erat. Jangan tanyakan Arya, tentu dia tidak mereka anggap.

Saat pengumuman penerbangan mulai terdengar, Gisel serta Gea dan suami Gea, Erick segera beranjak. Gisel melambaikan tangan sambil tersenyum terpaksa menutupi kesedihan dalam hatinya. Tidak ada orang yang menyukai perpisahan.

***

Setelah kurang lebih 6 jam duduk di bangku pesawat, Gisel sampai di Ibukota Britania Raya, London. Kota yang penuh dengan tempat wisata ciamik, yang selalu berhasil membuat para turis nyaman berlama-lama di kota ini.

Saat ini London tengah dilanda musim panas. Gisel tidak berhenti mengibas-ngibaskan tangannya sejak keluar dari bandara.

Gisel lanjut naik taksi untuk menuju rumah Gea. Awalnya Gisel mengajak Gea untuk naik bus merah khas London, tapi Gea menolak. Katanya, selain lebih murah, naik taksi akan mempercepat perjalanan. Bus itu cocok untuk kita yang sedang santai ingin mengelilingi kota London.

Dari balik jendela taksi Gisel dapat melihat keindahan kota yang terbelah oleh sungai Themes ini. Tidak rugi Gisel mengorbankan banyak hal demi bisa bersekolah di London.

Perjalanan dari bandara sampai ke rumah Gea memakan waktu cukup lama. Kira-kira setengah jam. Lewat jalan tol atau tidak, tidak ada bedanya.

Gisel melewati beberapa tempat ikonik di London. Kebanyakan yang dilihatnya museum dan taman. Gisel sempat melihat Big Ben dan London Eye dari kejauhan. Hal itu membuatnya semakin tidak sabar untuk mengubek seisi kota London.

"Terbius ...," sindir Erick, suami Gea.

Gea terkekeh kecil melihat keluguan adiknya. Sedari tadi mata Gisel tidak berkedip. Keindahan kota London benar-benar sudah menghipnotisnya.

"Mau keliling London sekarang?" tanya Gea.

Gisel menoleh, lalu menggeleng. "Nanti aja deh. Aku capek."

Perjalanan siang itu melelahkan dan membosankan. Selama berada di atas pesawat Gisel sama sekali tidak tertidur. Karena itu sekarang tubuhnya terasa sangat lemah.

Taksi berhenti tepat di depan sebuah rumah menjulang tinggi dengan pagar putih dan cat netral khas Eropa. Beberapa pilar penyangga dan jendela luas menambah kesan klasik pada rumah ini.

Gisel, Gea, dan Erick keluar dari taksi. Taksi itu kembali melesat setelah Gea membayar ongkos.
Baru kali ini Gisel mengunjungi rumah kakaknya setelah kurang lebih tiga tahun kakaknya menikah dengan Erick.

Pada malam harinya Gisel membuka laptop sambil tengkurap di atas kasur. Beberapa waktu lalu dia sudah selesai menata barang di kamar barunya.
Gisel terkejut saat menerima panggilan video dari Rhea dan Lesya. Dia mengangkat jarinya untuk menerka-nerka di Indonesia sekarang jam berapa.

"Jam enam p.m. Indonesia jam ...," Gisel berpikir sejenak, "tengah malam?!" pekik Gisel lebay.

Gisel menerima panggilan dari dua sahabatnya itu.

"Kalian gak tidur? Begadang?"

"Gak tidur sama begadang gak ada bedanya, kan?"

"Lesya, begadang itu gak baik. Ngapain kalian begadang segala?"

"Pengen periksa keadaan kamu,"

"Sekarang jam berapa di Indonesia? Tengah malam anak gadis belum tidur? Apa kata netizen!?"

"Netizen juga suka begadang!"

Gisel menghela napas. Lesya memang keras kepala.

"Besok lagi bisa, kan, teleponnya?"

"Kamu keganggu, Sel?" tanya Rhea hati-hati.

"Nggak. Jakarta itu 6 jam lebih cepat dari London. Aku lagi nyantai aja, nih. Kalian tuh yang bikin aku khawatir, ngapain begadang kayak gitu,"

"Santai aja, Sel. Kita gak apa kok,"

"Hmm."

"Gimana London?" tanya Lesya dengan wajah antusias.

"Baik. London Eye masih indah, Big Ben masih berdiri megah, Istana Westminster masih terlihat mewah! Bis nya berwarna merah! Membuat perasaan senang pecah parah!"

"Kalau nanya jangan ambigu dong, Sya!”

"Hehehe.”

"Eh, kapan nih, kita mau bikin konten Youtube lagi?" tanya Gisel serius.

"Aku sih udah lancar. Besok juga oke oke aja," sahut Rhea.

"Lusa, ya?"

"Jam’ber?"

"Hmmm ... jam tujuh malam aja gimana? Berarti di London jam satu siang," usul Rhea.

"Oke setuju!"

Ketiganya mengangguk bersamaan.

"Udah naik bus cabai belum, Sel?" tanya Lesya kembali dengan ambigunya.

"Bus cabai?"

"Apaan bus cabai?" Rhea juga tidak paham.

"Itu, lho bus yang warnanya merah cabai. Bus yang suka ada di kamar Gisel,"

"Hah? Kapan aku masukin bus ke kamar?"

"Sya kamu bisa to the point gak sih? Jangan ambigu mulu!" rutuk Rhea diakhiri kekehan.

"Ye, kan aku gak tau nama bus itu! Maksud aku bukan Gisel bawa bus ke kamar, tapi itu bus suka ada di poster-poster yang Gisel tempel di kamarnya!"

"Ohh, bilang dong, bus merah! Apaan bus cabai. Itu namanya Double Decker. Tadi dari bandara ke rumah Kak Gea pakai taksi. Mungkin lain waktu jalan-jalan pakai bus merahnya.”

Rhea dan Lesya ber-o saja di seberang sana.

"Gisel! Makan malam dulu!" Itu teriakan Gea.

Gisel menengokkan kepala ke arah ambang pintu kamarnya. "Iya!" sahut Gisel lantang.

Mata Gisel kembali tertuju ke laptop.

"Udah dulu, ya. Aku disuruh makan sama Kak Gea,"

Rhea menyatukan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk oke. Lesya hanya mengangguk singkat.
Mereka bertiga melambaikan tangan ke kamera laptop masing-masing. Lalu, bersamaan mengucapkan salam perpisahan.

"Bye! Jangan lupa-"

"Jangan lupa sama kalian, Arya. Jangan lupa diri, lupa keluarga, lupa jalan pulang, yang paling penting jangan lupa nama sendiri. I remember, guys," potong Gisel.

Lesya mengacungkan jempol. "Sip! Anak pintar!"


🎤🎤🎤

Jeng! Jeng! Jeng!

Seneng gak aku bawa jalan-jalan ke kota London? Baru dikit ya. Bentar lagi aku ajak kalian traveling kota London. Next part okay.

Vote dan komennya aku tunggu^^

Jangan lupaaa ingatan. Karena itu artinya gak ingat. Gak deng canda.

Maksudnya jangan lupa ajak teman-teman kalian untuk baca cerita ini.

Thanks for reading and see you in the next part!

Salam,

Lutfyyunita.

GiRLsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang