18. Tring Tring

8 5 0
                                    

Sebuah dompet kecil yang hanya berisi surat-surat dilempar Lesya hingga tergeletak tak berdaya di lantai. Kalau bisa berbicara, mungkin dompet itu akan mengumpat pada Lesya.

Kemudian tubuh Lesya ikut ambruk. Dia bersandar ke tembok sambil memegangi perutnya yang bergemuruh minta asupan makanan. Sudah tiga hari Lesya tidak makan.

Seperti yang kalian ketahui. Satu minggu yang lalu Lesya membatalkan kontrak dengan Strat Publisher. Kalian menyebut Lesya bodoh? Sungguh Lesya mengakuinya. Dia memang bodoh termakan oleh rasa cemburunya. Cinta memang ahli membuat seseorang terlihat bodoh. Maka, hati-hatilah dengan cinta.

Lesya merangkak, mengambil uang receh yang berserakan di lantai. Orang tuanya lagi-lagi telat memberikan uang bekal pada Lesya. Alhasil beginilah Lesya. Keadaanya seperti anak yang terlantar.

Dengan kaki yang lemas, Lesya mengambil topinya. Dia berniat untuk pergi ke minimarket, membeli air mineral dan roti. Semoga itu dapat menahan rasa laparnya hingga orangtuanya mengirim uang.

Kulit putih Lesya tersorot sinar matahari sore. Entah kenapa jika kita sedang lapar, lalu kita berjemur rasanya enak sekali.

Ketika hampir sampai di minimarket, Lesya melihat mobil Fachri terparkir di emperan minimarket. Seketika langkah Lesya terhenti. Kenangan menaiki mobil itu dengan Fachri kembali terngiang di otaknya. Menjadi seseorang yang mudah jatuh cinta, tapi sulit untuk melupakan itu sangat menyebalkan.

Tidak lama sang pemilik mobil datang ditemani seorang gadis berhijab. Lesya segera membalikan tubuhnya agar tidak terlihat.

Setelah mobil itu kembali membelah jalanan, barulah Lesya berani menginjak emperan minimarket. Dia masuk ke dalam minimarket.

Dengan uang recehnya Lesya membeli tiga bungkus roti isi berbagai selai, juga dua botol air mineral 600 ml.

Setelah membayar di kasir, Lesya hendak keluar minimarket saat matanya tidak sengaja menangkap sosok gadis yang dirasa familier. Lesya mengurungkan niatnya untuk keluar dari minimarket. Dia menemui gadis itu yang tadi menuju lorong mie.

"Gisel?" sapa Lesya dengan senyumnya yang merekah sempurna.

Bukannya Gisel yang berbalik, malah gadis berambut pirang yang membalikkan badan dan membalas senyumnya.

"Apa kamu memanggil Gisel?" tanya gadis itu.

Lesya diam beberapa saat. Dia belum mengerti hal apa yang sedang terjadi. Kenapa bukan Gisel yang menyahutinya? Kenapa Gisel seolah tak mendengar panggilannya?

"A-aku teman Gisel," ucap Lesya ragu-ragu.

Otak Lesya berputar mengingat-ingat wajah gadis ini. Lesya merasa pernah melihatnya, tapi entah dimana.

Mata gadis itu menyipit. Pandangannya yang sangat mengintimidari menyapu Lesya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lesya jadi kicep.

Gadis itu terkekeh sinis. "Haha, aku rasa kamu salah orang,"

Lesya berusaha kembali mengembangkan senyumnya meskipun kaku. Berbagai perasaan tercampur di benaknya. Dia terus bertanya-tanya, kenapa Gisel tidak menyahuti panggilannya? Apa Gisel sudah tidak mengakui dia temannya lagi?

"Sepertinya begitu, maaf." Lesya kemudian beranjak dari hadapan gadis itu. Dengan langkah yang tergesa-gesa, Lesya keluar dari minimarket.

Satu, dua langkah, terdengar samar-samar seseorang memanggil namanya. Lesya mengacuhkannya karena berpikir itu hanya halusinasinya saja yang sedang kelaparan.

Semakin Lesya melangkah, semakin kencang suara itu memasuki gendang telinganya. Akhirnya Lesya berbalik untuk melihat siapa orang yang tengah meneriakkan namanya.

GiRLsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang