6. Barang Baru dan Barang Lama

22 11 24
                                    

Cklk!

Bukk!

Pintu tiba-tiba dibuka membuat Gisel yang sedang menyender ke daun pintu jatuh ke lantai. Gisel meringis.

"Gisel!"

Gisel mendongak sambil menyengir kuda. Mata sembab Gea menatap tajam ke arahnya. Mengerikan sekali.

"Kak-"

"KAMU DARI MANA AJA!" potong Gea tak santai.

"Aku-"

Ucapan Gisel kembali terpotong akibat Gea tiba-tiba memeluknya. Bahu Gea bergetar. Gisel jadi bertanya-tanya. Apa yang membuat Gea menangis?

"Kak, kenapa?" tanya Gisel.

Gea tidak menjawab.

Gisel menaik turunkan alisnya ke arah Erick. Seakan sedang bertanya, kenapa?

Erick hanya tersenyum tipis membuat keingintahuan Gisel semakin bertambah.

Gea melepas pelukannya. Tangannya turun memegangi pundak Gisel.

"Kakak khawatir banget sama kamu! Habis kecopetan kamu pergi ke mana lagi? Kenapa nggak langsung pulang?!"

"Kok, kakak tau?"

"Tadi ada telepon dari Kantor Pusat Informasi. Katanya mereka nemuin dompet gadis yang melapor kecopetan pada jam empat sore. Mereka baru aja nelepon. Kakak panik karena kamu belum pulang. Pikiran kakak kalut,"

"I-m ok, Kak.”

"Mending kita masuk dulu. Ngobrol di ambang pintu itu dingin," ajak Erick.

Gea dan Gisel mengangguk setuju.

***

"Jadi, kamu ke mana aja?" tanya Gea untuk ke sekian kalinya.

Kini mereka bertiga tengah duduk di ruang makan. Menikmati Chesse Potato Rosti. Orang Eropa memang senang memakan makanan berat di malam hari.

Gisel menelan makanannya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Gea. Setelah itu, Gisel mulai menceritakan semua yang terjadi hari ini tanpa satu momen pun yang terlewatkan.

Gea dapat bernapas lega setelah mendengar segala penjabaran Gisel. "Syukurlah kamu nggak apa-apa. Kakak terlalu panik tadi,"

"Make it a lesson, Gisel," pesan Erick yang artinya: "Jadikan pelajaran, Gisel,"


Gisel mengangguk.

"Di mana pun waspada itu harus. Di kota maju seperti ini tidak mustahil banyak tindak kriminal,"

"Iya, Kak. Lain kali aku bakal lebih hati-hati lagi.”

"Tadi petugas Kantor Pusat Informasi bilang apa aja, Kak? Mereka tahu pencurinya?" lanjut Gisel bertanya.

Gea menggeleng. "Mereka cuma bilang berhasil nemuin dompet milik kamu di tong sampah. Kamu sendiri nggak tahu siapa pencurinya?"

"Nggak. Tapi, menurutku sepertinya dua tunawisma itu, deh. Ketika kita tidak mengetahui kebenaran, yang bisa kita lakukan hanya menerka-nerka, kan, Kak?"

"Yes. And, you started to catch my poetic soul," ujar Erick yang artinya: "Ya. Dan, kamu mulai tertular jiwa puitisku!"

Gea dan Gisel terkekeh. Ketegangan beberapa menit lalu perlahan menghilang.

"Eh, tadi kamu bilang naik London Eye? Siapa yang bayar?"

"Teman yang membantuku itu,"

"Kamu tau nggak  harga tiket London Eye?" tanya Gea dengan nada tak santai.

"Nggak, dia nggak ngasih tahu. Memang berapa?"

"Kalau dirupiahkan sekitar lima ratus ribu.”

Uhuk... Uhuk...

Gisel tersedak. Matanya yang bulat terbuka sempurna. Dia melirik Gea dan Erick bergantian.

"Li-lima ratus ribu?!" ulang Gisel tidak percaya.

***

Jakarta, satu hari kemudian.

Rhea duduk di bangku pojok kantin, sendirian. Ini hari kedua kuliah tapi dia sama sekali belum mendapat teman baru. Menyebalkan!

Rhea melirik ponselnya sambil menghela napas pasrah. Tertera angka 14.36 di layar ponselnya. Untuk mengusir kebosanan, Rhea membuka aplikasi Instagram.

Decakkan kecil keluar dari mulutnya saat melihat postingan baru dari akun Instagram Gisel. Gisel saja mudah mendapat teman meski di negara orang.

"Nih, minumnya,"

Lesya datang, lalu mengambil duduk di seberang Rhea. Dia menyimpan dua gelas berisi Lemon squash di meja.

"Hm" sahut Rhea ogah-ogahan.

"Kenapa mukanya kusut gitu, Rhe? Masih belum dapat teman?" tebak Lesya tepat sasaran.

Rhea mengedikkan bahu, merasa tidak tertarik dengan topik semacam itu.

"Kamu ini! Banyak yang mau jadi teman kamu. Kamu itu anggota Girls, jago main biola, pintar, Sholehah. Siapa coba, yang nggak mau temenan sama orang macam kamu,"

"Hm.”

"Kamu udah liat postingan baru Gisel?" tanya Lesya.

"Sudah. Dia pintar nyari teman, nggak kayak aku,"

“Tapi, Rhe. Dia bakal lupa ke kita nggak, sih? Biasanya, ‘kan dapat yang baru buang yang lama,”

“Semoga aja nggak. Lagian, ‘kan persahabatan kita bukan barang yang kalau udah dapat yang baru yang lama terlupakan,”

“Iya bener juga. Semoga dia nggak lupain kita,”

“Amiin.”

"Jadi, kita mau ngapain-"

Drtdrt...

Dering telepon Rhea memotong ucapan Lesya. Refleks Rhea dan Lesya memandang ke arah benda pipih itu.
Rhea mengambil ponselnya. Dia tidak langsung menjawab telepon. Tidak ada nama penelepon di layar ponselnya. Hanya ada beberapa deretan angka yang tidak familier.

"Siapa?" tanya Lesya penasaran karena Rhea diam saja.

"Nggak tau. Angkat jangan?"

"Angkat aja. Siapa tau penting,"

"Nggak, ah. Sekarang banyak penghipnotis lewat telepon,"

"Tenang ...," Lesya mengangkat gelas berisi Lemon squash miliknya. "kalau kamu kena hipnotis, aku siram pakai ini!"

"Tega banget kamu, Sya," gerutu Rhea tak terima.

Lesya terkekeh ringan, puas membuat Rhea kesal.

Dering telepon sudah tidak terdengar lagi karena Rhea terlalu lama mengabaikannya. Selang beberapa detik, suara dering telepon terdengar lagi, tapi sumbernya berbeda; ponsel Lesya.

Lesya mengangkat ponselnya. Hanya deretan angka. Nomornya sama seperti yang tadi menghubungi Rhea.

"Angkat jangan?" tanya Lesya.

"Angkat aja. Nanti kalau kamu dihipnotis, aku siram pakai ini!" Rhea menirukan gaya bicara Lesya beberapa detik lalu sambil mengangkat minumannya.

"Kejam!"

"Tapi, kok ini yang mau hipnotis bodoh, ya?"

"Bodoh gimana?" bingung Rhea.

"Dia ngajak video call. Aku jadi tau, dong, mukanya,"

"Bukan tukang hipnotis kali, Sya,"

"Ya udah. Aku angkat, ya.”

Lesya akhirnya memutuskan untuk mengangkatnya. Muncullah wajah seorang gadis berambut sebahu pada layar ponsel Lesya.

"Kok lama banget, sih, ngangkatnya?" itu suara Gisel dari seberang sana.

Rhea dan Lesya saling berpandangan sambil menyengir kuda.

"Maaf, Sel. Kirain penjahat,"

Rhea menggeserkan kursinya ke samping Lesya. Menampakkan dirinya pada kamera ponsel Lesya.

"Kamu kenapa ganti nomor?" tanya Rhea.

"Ceritanya panjang,"

"Sepanjang apa?" tanya Lesya.

"Sepanjang dosa kamu,"

"Sialan!" umpat Lesya diakhiri kekehan.

"Kalian lagi berdua? Ih... Jangan buat aku cemburu!"

"Kamu juga buat kita cemburu, kamu punya teman baru," ujar Lesya jujur. Persahabatan itu harus didasari dengan kejujuran, ‘kan?

"Eh, bukan kita. Cuma Lesya yang cemburu," sanggah Rhea.

"Hehehe... Itu ada hubungannya sama nomor ponselku yang ganti. Mau aku ceritain nggak?"

"Silakan.”

Dari seberang sana Gisel mulai menceritakan hal yang menimpa dirinya di hari kemarin. Sesekali raut wajahnya sedih, dan sesekali tertawa ketika sedang menceritakan hal yang menyenangkan.

"Ponselnya nggak kembali?" tanya Lesya.

"Enggak,"

"Terus, ini telepon pakai ponsel siapa?"

"Kemarin Kak Gea langsung beli ponsel,"

"Wuih... Holang kaya!" sorak Rhea dan Lesya bersamaan.

"Tapi, beli ponsel buat dia. Aku dikasih ponsel bekas Kak Gea,"

"Nggak apa, Sel. Begitu juga kamu udah beruntung. Ditambah ditraktir naik London Eye sama teman," kata Rhea.

"Heem. Baik banget temanmu itu," tambah Lesya.

"Nah, ini. Kalian tahu nggak, harga tiket untuk naik London Eye?"

Rhea dan Lesya menggeleng.

"Lima ratus ribu rupiah!"


"Gila! Anak sultan!" pekik Lesya heboh sendiri.

"Makannya, aku jadi merasa nggak enak, nih. Tolong tanyain sama bapak kamu, Rhe. Aku dosa nggak?"

"Kalau temanmu itu ikhlas, ya nggak apa-apa, Sel," jawab Rhea.

"Tanyain, deh. Bahaya kalau dia nggak ikhlas," Lesya malah menakut-nakuti.

"Gimana cara tanyanya? Kamu ratunya belibet, kan Sya?"

Lesya mengangkat tangannya, menyerah.

"To the point aja, Sel," saran Rhea.

"Ah, malu,"

"Eh, dia datang, tuh,"

Penampakan di layar ponsel Lesya berubah menjadi menampilkan sepasang manusia yang sedang berjalan ke arah Gisel. Sepertinya Gisel membalikkan kamera ponselnya.

Beberapa detik kemudian, Lesya dan Rhea berteriak kaget sambil menutup kedua belah matanya dengan telapak tangan.

"ASTAGFIRULLAH!" teriak Lesya dan Rhea bersamaan.

"GISEL KEMBALIKAN MATA SUCIKU!!!" itu Lesya yang heboh.

"Cowoknya ganti lagi?" itu suara tenang Gisel.

Seisi kantin melirik ke arah meja Rhea dan Lesya akibat teriakan heboh mereka. Rhea dan Lesya berharap mereka menjadi tembus pandang. Kejadian ini memalukan sekali.

"Udah, ya, guys. Aku matiin dulu teleponnya."
Layar ponsel Lesya menjadi hitam, tapi suara di seberang sana masih samar-samar terdengar. Sepertinya Gisel lupa memutuskan sambungan teleponnya.

Keadaan antara Rhea dan Lesya menjadi hening, mereka masih kaget dengan kejadian barusan. Mereka bersama-sama menghela napas panjang. Mengejutkan sekali.


🎤🎤🎤

Jeng! Jeng! Jeng!

Reaksi kalian kalau lihat orang lagi kiss itu ... Gimana, sih?

Gimana part ini? Dapet feel-nya?

Kemarin mau up tapi ketiduran hehe.

Vote dan komennya kalau kalian suka. Dan, jangan lupa untuk ajak teman-teman kalian, sodara, dan tetangga untuk baca cerita ini.

Thanks for reading and see you in the next part^^

Salam,

Lutfyyunita.

GiRLsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang