7. Are You Gisel?

16 8 18
                                    

Beberapa orang berlalu-lalang melewati Gisel yang duduk di bagian pinggir tangga masuk gedung kampus. Mata Gisel terpaku pada ponsel. Dia sedang Video call dengan Rhea dan Lesya.

"ASTAGFIRULLAH!"

"GISEL KEMBALIKAN MATA SUCIKU!!!"

Padahal Gisel tidak menggunakan volume full, tapi teriakkan Rhea dan Lesya itu terdengar sangat nyaring.

"Cowoknya ganti lagi?"  Gisel berusaha tenang.

Gisel membalikkan kembali kamera ponselnya. "Udah, ya, guys. Aku matiin dulu teleponnya."

Tanpa menunggu sahutan orang di seberang, Gisel memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya.

"Hai," Caitline menghampirinya.

"Hai," balas Gisel sambil mengubah posisinya menjadi berdiri.

Kemudian mereka jalan beriringan masuk ke dalam gedung kampus.

"That's your new boyfriend?" tanya Gisel.

"No, he's just my friend,"

"Just friends but up to a kiss?" (Hanya teman tapi sampai ciuman?)

Gisel menggigit bibir dalamnya. Entah kenapa kalimat itu tiba-tiba terlontar.

"This is London. Such things are common." (Ini London. Hal seperti itu sudah biasa.)

Gisel terkekeh garing. Dia bersyukur Caitline tidak tersinggung.

“Kamu sudah beli ponsel baru?” tanya Caitline.

“Ah, iya ini ponsel kakakku. Aku khawatir teman-temanku bakal nyariin aku kalau aku lost contact,” jelas Gisel.

Memangnya sepenting itu, ya? Semenjak aku tinggal di London nggak pernah tuh ada teman aku yang nyariin kabarku,”

“Mereka itu bukan sekedar teman, tapi sahabat yang udah kuanggap saudara sendiri. Terus kita juga punya vokal grup kecil-kecilan. Jadi, penting banget buat kita jaga komunikasi,”

“Oh gitu,”

“Mimpiku juga ingin buat vokal grup itu jadi besar, tapi sampai sekarang belum tau gimana caranya,”

“Kakakku punya studio musik di Jakarta. Dia juga beberapa kali bikin band atau vokal grup. Nanti aku kenalkan, deh,”

“Haha, oke makasih, Cait,”

“Sama-sama.”

"By the way, tiket London Eye itu ...," ujar Gisel menggantung.

"What?"

Gisel mengulum bibirnya. Menarik napas terlebih dahulu untuk meningkatkan keberanian.

"Tiket London Eye itu ... mahal, 'kan? Kamu ikhlas?"

Caitline menghentikan langkahnya, membuat Gisel ikut berhenti. Caitline menatap Gisel dengan tatapan yang sangat tenang.

"Kalau aku nggak ikhlas, kamu mau ngapain?"

"A-aku ... ak-Aku ...," Gisel gelagapan. Dia terlalu sibuk mencari cara untuk mengetahui keikhlasan Caitline, sampai lupa memikirkan hal apa yang harus dilakukannya jika Caitline tidak ikhlas.

Caitline terkekeh. "Mau nikah sama kakakku biar hutangnya lunas kayak di sinetron?”

Gisel menjejerkan giginya, menyengir kuda. Kalau dibayangkan seram juga ucapan Caitline itu.

"Aku ikhlas, kok. Lagi pula itu uang dari pacarku. He's not hanging out with me, remember?"

"Ah ... yes.”

Gisel dan Caitline melanjutkan perjalanannya yang sempat tertunda. Hening mengisi perjalanan mereka itu. Hanya derap langkah kaki yang terdengar.

"Kamu baru pergi ke berapa tempat?" tanya Caitline merobek kesunyian.

"Istana Wechesman, Oxfrod Street, Big Ban, sama London Eye.”

"Sekarang jalan-jalan lagi, mau?"

Gisel berpikir sejenak. Sungguh memalukan jika sekarang dia meminta gratisan lagi. Tapi, hari ini Gea melarang Gisel membawa banyak uang. Gea takut Gisel akan menghilangkannya lagi.

“Jam pelajaran habis, aku tunggu kamu di sini. Nggak ada penolakan!” kukuh Caitline. Setelah itu, dia melengos ke koridor sebelah.

Gisel terdiam, kicep. Bisa-bisa uangnya bobol berteman dengan sang pencinta jalan-jalan. Atau, dia akan terus merasa tidak enak karena berteman dengan orang yang suka mentraktir.

Gisel menggelengkan kepalanya. Sudahlah, dibawa enjoy saja. Lagi pula masih banyak tempat yang ingin Gisel kunjungi. Kaki jenjang Gisel kembali melangkah menuju kelasnya.

***

Setelah turun dari mobil FIAT 500 C milik ayah Caitline, Gisel dan Caitline berjalan menyusuri Hyde Park yang kanan kirinya dihiasi pohon-pohon rindang. Udara di sini sejuk sekali. Hyde Park ini dikelilingi danau buatan. Sepanjang perjalanannya, Gisel terus bertemu dengan tupai dan burung. Hewan-hewan itu sepertinya sudah terbiasa akan kehadiran manusia.

Mereka sampai di Italian Garden. Taman air mancur dengan empat kolam dibentuk segi empat, dan satu air mancur kecil di tengah-tengah. Para angsa putih berenang memenuhi kolam itu.

"Papa kamu nggak akan marah mobilnya kamu curi?" tanya Gisel.

"No, aku cuma curi kuncinya.”

Seperti biasa, Gisel dan Caitline berkeliling mencari angel yang bagus untuk berfoto. Setelah capek, mereka duduk di pinggir kolam memberi makan burung-burung yang sesekali mendarat di sela-sela aktivitas terbangnya.

"Satu hari jalan-jalan keliling kota London itu mustahil. Satu hari paling bisa cuma buat dua tempat. Gila, sih. Semua sudut kota London itu gak ada yang nggak bikin aku terpukau," celoteh Gisel mengeluarkan emosi senangnya.

"Aku aja yang udah tujuh tahun tinggal di London nggak pernah bosan keliling tempat-tempat kaya gini," tanggap Caitline sambil menyobek-nyobek roti dan memberikannya pada burung.

Drt... Drt...

Terdengar suara getaran ponsel. Sumbernya dari saku kemeja Caitline. Caitline merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel.

Gisel mendekat kepo. "Robert sinting," gumam Gisel membaca huruf-huruf yang tertera di layar ponsel Caitline.

"Siapa?" tanya Gisel.

"Kakakku,"

"Yang di Indonesia?"

Caitline mengangguk. Dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku tanpa menerima teleponnya.

"Nggak diangkat?"

"Nggak, dia udah sinting."

Gisel mengangguk-anggukan kepalanya. Meng-iyakan saja ucapan Caitline.

"Kita jalan-jalan lagi, yuk. Aku bosan cuma ngasih makan burung."

Caitline mengangguk. Mereka mengangkat bokongnya dari kursi taman.

"Kita ke Princess Diana Memorial Fontain," ajak Caitline.

"Oke."

Dering ponsel terus terdengar di sepanjang jalan mereka tidak ada hentinya. Karena jengkel, Caitline membuka ponselnya. Ada 100 pesan lebih dan 27 panggilan dari kakaknya itu.

Caitline mendekatkan speaker ponselnya ke telinga. Membesarkan volume ponselnya, lalu membuka pesan suara dari kakanya.

"Angkat teleponnya, gila!" itu isi pesan suaranya.

Nyaris saja Caitline melempar ponselnya. Kakaknya benar-benar sudah gila!

Gisel dan para turis yang berada di sekitar mereka menoleh kaget.

Semirik keluar dari mulut Caitline.

"APA!?" pekik Caitline membalasnya dengan pesan suara lagi.

Gisel memberikan lirikan tajam pada Caitline, lalu dia menutup wajahnya dengan telapak tangan. Malu pada para turis yang mulai menertawakan tingkah Caitline.

"Kakakmu?" tanya Gisel berusaha santai.

"Iya.”

Caitline mendekatkan ponselnya ke telinga, sepertinya dia sedang menelepon.

"Kamu curi mobil papa lagi?"

"I don't. Gue cuma nyuri kuncinya,"

Meski tidak niat, Gisel menguping percakapan Caitline dan kakaknya. Tanpa rasa malu Caitline masih membesarkan volume teleponnya. Tidak lupa volume bicaranya.

"Dicariin noh, sama papa,"

"Bentar lagi pulang!"

Gisel bersenandung kecil menyanyikan lagu Sampai Jumpa Endank Sukanti untuk menghilangkan rasa malunya karena semua turis terus memandanginya dan Caitline sambil diam-diam tertawa.

Caitline menurunkan ponselnya, mematikan telepon secara sepihak.

Gisel geleng-geleng sendiri melihat interaksi Caitline dan kakaknya. Dia kira dirinya dan Gea adik kakak terusuh sedunia. Ternyata ada yang lebih.

Detik berikutnya Caitline kembali menerima pesan suara dari kakaknya.

"Kata ‘bentar’ di kamus bahasa kamu itu satu miliar jam!"

"Serah lu! Yang dicuri mobilnya orang London, kenapa orang Indonesia yang sewot, hah!?" balas Caitline tak santai.

Gisel mempercepat langkahnya supaya tidak bersampingan lagi dengan Caitline. Duh, apa Caitline sengaja ingin mempermalukan Gisel dengan cara terus berteriak-teriak seperti itu?

Kakak Caitline kembali menelepon, Caitline menerimanya dengan malas. Decakkan sebal terus keluar dari mulutnya.

"Eh, lo lagi sama siapa? Ada yang nyanyi,"

"Temen, cewek. Kenapa?"

"Suaranya bagus, bjir. Orang Indonesia?"

Caitline menyipitkan mata, ingin melihat Gisel lebih jelas. Benar, gadis itu tengah bernyanyi ria. Mungkin saat tadi dia mengirim pesan suara pada kakaknya suara Gisel ikut terekam.

"Temanku... Gitu, lho,"

"Kenalin ke kakak, dong. Lagi butuh vokalis, nih,"

"Emang vokalis lo yang lama kenapa?"

"Keluar,"

"Itu karena lo terlalu lucknut jadi atasan!"

"Lo mau aku pecat sebagai adik?"

"Mau banget,"

"Sialan! Pokoknya aku mau dikenalin sama temanmu itu. Nanti aku kasih berondong Indonesia, deh,"

"No!”

"Gue kasih pinjam mobil selama satu hari full kalau kamu pulang ke Indonesia,"

"Kurang lama,"

"Dua hari,"

No!”

"Satu minggu?"

"Selama aku di Indonesia. Deal?”

"Satu minggu!?"

No!”

"Tiga hari!?"

"Ya udah, satu minggu!" serah Caitline malas berdebat dengan Kakaknya.

"Deal. Cepat pulang! Papa nyariin!"

Tut...

Sambungan telepon diputuskan oleh kakak Caitline. Sungguh kakak yang menyebalkan.

Kaki jenjang Caitline melangkah cepat mendekati Gisel yang sedang memotret tupai mengenakan kamera SLR-nya.

"Eh, Sel. Kakakku pengen kenalan sama kamu katanya,"

Gisel menoleh. Matanya memerhatikan Caitline. Aman, sudah tidak menelepon lagi.

"Kakak kamu?" tanya Gisel memastikan.

"Iya, tadi waktu rekam audio nggak sengaja suara kamu lagi nyanyi ikut kerekam," jelas Caitline.

Gisel mengangguk mengerti. Dia mengubah posisi jongkoknya menjadi berdiri.

"Boleh, nggak?"

"Boleh, kasih nomor aku aja."

Kebetulan mereka sudah bertukar nomor ponsel tempo hari.

***

Setelah bersih-bersih, Gisel berdiri di balkon kamarnya menikmati segarnya angin malam kota London. Karena rumah Gea terletak di tengah kota Gisel  jadi dapat melihat keindahan kota London hanya dari balkon kamar.

Gisel merasakan ponselnya bergetar, satu pesan masuk. Gisel langsung membukanya.

+628122403*** : Hello, Are you Gisel?

Kulit di kening Gisel mengerut. Siapa orang yang mengirimnya pesan malam-malam begini. +62?
Pikirannya melayang-layang seperti rambutnya yang tertiup angin malam. Satu notifikasi masuk lagi membuat ponsel Gisel bergetar. Gisel tersadar, dia membuka pesan itu.

+62122403**** : Namaku Robert Erick Kanaya, kakak Caitline Kanaya.


🎤🎤🎤

Jeng... Jeng... Holla

Kira-kira Gisel tergoda sama tawaran Robert nggak, ya?

Up malem-malem? No problem hehe.

Kemarin otakku sempet mendet. Maafkeun. Juga, ingatkan kalau ada typo yang bertebaram.

Vote dan komennya selalu kutunggu.

Thanks for reading and see you in the next part!!!

Salam,

Lutfyyunita.

GiRLsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang