17. Novel Lama

9 6 7
                                    

Gisel tengkurap di kasurnya. Dia senang bisa kembali bertiduran di kamar kesayangannya. Kamar yang penuh dengan poster-poster London. Seperti yang Lesya katakan dulu, banyak bus cabe di kamar Gisel.

Mengingat Lesya, Gisel jadi merasa sedih. Pasalnya sudah hampir satu minggu Gisel berada di Indonesia, tapi dia belum sekalipun melihat ujung batang hidung kedua temannya.

Kalau Caitline bilang, mereka itu sudah tidak menginginkan kehadiran Gisel. Gisel tidak ingin berpikiran buruk seperti itu. Setiap hari, setiap pagi, Gisel selalu berharap Rhea dan Lesya datang ke rumahnya.

Jika ditanya kenapa tidak Gisel saja yang pergi ke rumah dua orang temannya itu, jujur Gisel lupa letak rumah Rhea. Dia takut nyasar. Kalau kost Lesya, baik Rhea maupun Gisel tidak pernah mengunjunginya.

"Memangnya kenapa, sih kamu mau banget ketemu mereka?" tanya Caitline sambil mengacak-acak koleksi novel Gisel.

Dari kecil Gisel memang mempunyai hobi membaca. Jadi, jangan ragukan banyaknya buku yang terdapat di rak buku Gisel.

"Aku pengen ketemu aja. Kamu bayangin, lah nggak ketemu sahabat kamu selama hampir setengah tahun," jawab Gisel jujur.

"Kalau udah ketemu mau ngapain?"

Gisel bergumam kecil. "Makan, ngobrol,"

"Hih, kamu nggak tau aja. Kalau kita deketan sama orang yang udah lama nggak ketemu itu rasanya canggung. Pasti susah banget nyari topik. Sedeket apapun kita sama mereka dulu, pasti hal itu terjadi,"

"Masa sih?" ragu Gisel.

Caitline mengangguk, lalu dia melempar novel Gisel yang sudah tua dan rusak ke kasur.

"Barang lama kalau udah nggak guna, buang aja," titah Caitline.

"Iya,"

"Teman lamamu, kalau udah nggak guna, buang aja,"

"Pedas!!!"

Gisel sudah terbiasa mendapat lontaran pedas dari mulut Caitline. Dia sudah tidak kaget lagi.

"Hahaha, kidding!" kekeh Caitline. "Terus itu, tawaran kakakku gimana?" lanjut Caitline bertanya. Dia menghentikan tawanya untuk kembali serius.

"Iya itu, aku ketemu mereka sekalian mau minta izin,"

"Terus kalau kamu nggak ketemu mereka? Kamu mau lewatin tawaran menggiurkan dari kakakku itu?"

Gisel mengedikkan bahu. Dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Caitline itu. Sekarang dia jadi memikirkan hal itu.

"Ya udah. Kalau kamu nggak ketemu mereka, kamu masuk aja ke Lightning. Nggak perlu izin mereka, toh mereka juga nganggurin kamu," saran Caitline.

"Nggak bisa gitu,"

"Kenapa? Jangan sampai band kecil ngehalangin kamu untuk menjadi seorang bintang,"

"Lagi pula temanmu itu sepertinya sudah tidak peduli lagi sama kamu. Kenapa kamu harus peduli sama mereka?" lanjut Caitline mengompori.

"Cait, udah, deh, nggak usah menghasut aku,"

"Aku cuma ngasih saran, Gisel. Aku dan kakakku akan bikin kamu jadi bintang. Dan, kamu malah sebut aku penghasut? Oh my god!"

Gisel menghela napas. Satu minggu lagi itu bulan Januari awal. Gisel harus sesegera mungkin memberi keputusan pada Robert. Sementara itu dia sama sekali belum bertemu Rhea ataupun Lesya. Apa Gisel harus menuruti ucapan Caitline? Masuk Lightning tanpa memberitahu Girĺs?

"Barang nggak berguna itu buang aja, Gisel," titah Caitline kembali melempar novel usang milik Gisel. Novel tanpa sampul. Lemparannya itu tepat mendarat di kening Gisel.

GiRLsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang