Langit malam tanpa bintang menjadi teman untuk lelaki manis yang duduk di kursi taman rumah sakit.
Kepala nya dia tundukan tanda dia sedang bersedih. Kepala nya pun terasa berdenyut sakit.
Dingin nya udara malam tak dia pedulikan walau nanti tubuhnya yang akan sakit. Dia tidak memikirkan itu sekarang, ada hal yang membuat dia berdiam diri disini.
Tadi saat dia dan Jaehyun masih duduk bersama di kursi taman, jantung nya berdegup sangat cepat. Tanda bahwa dia gelisah.
Ucapan yang dilayangkan Jaehyun mampu membuat setetes air mata nya jatuh begitu saja.
"Aku tidak tau bagaimana kau dan Peter saling kenal. Tapi, dia berkata padaku bahwa dia mencintai mu."
Jantung Chenle semakin berdegup kencang, rona pipi nya sedikit memerah. Tapi itu tak membuat Jaehyun diam.
"Aku tak tau dia akan kembali kapan. Dan kau mau menunggu?"
Tentu! Anggukan kepala Chenle membuat senyum Jaehyun terbit.
"Tapi Chenle.. Itu jika Peter sembuh dan selamat."
Rasanya seperti ada ribuan jarum yang menancap di dada nya, sakit, perih, tapi tidak berdarah.
Matanya bahkan sudah sembab karna menangis terlalu lama, Jaehyun sudah kembali untuk melihat keadaan Peter.
Kenapa dirinya tak ikut? Dia hanya belum siap. Belum siap melihat Peter untuk pergi jauh darinya, perasaan yang membuncah ini tak bisa dia cegah saat bersama lelaki itu.
Lelaki yang sudah mulai memasuki ruang dihati nya. Lelaki yang dengan mudah nya bisa membuat nya merasa nyaman saat di dekat nya. Lelaki yang dengan mudah nya juga mengambil perhatian si kecil.
Mengingat si kecil, Chenle sampai lupa jika sang anak tidak bersama nya. Dia menyuruh Jaemin untuk menjaga Chenji kembali saat dia dengan terburu berlari saat menerima telpon. Lagi-lagi dia merepotkan Jaemin.
Hanya menatap sang anak sekilas yang pada saat itu menahan tangis karna melihat mom nya yang sudah panik dengan mata memerah. Chenle meninggalkan si kecil begitu saja, dia sangat merasa bersalah sekarang. Ingin pulang tapi tidak ada kendaran umum yang beroperasi saat ini. Jelas, ini sudah pukul 12 malam.
Jeno dan Renjun sudah pulang sejak satu jam yang lalu, mereka sempat memaksa Chenle untuk pulang bersama. Namun entah kenapa Chenle malah menggelengkan kepala nya dan menunduk.
Mereka saling menatap dan akhirnya pergi meninggalkan Chenle, bukan tak peduli. Mereka tau jika sang adik masih belum bisa menerima ini, mau tak mau mereka tak memaksa.
Angin yang berhembus membuat rambut Chenle sedikit berantakan, namun tetap terlihat manis di bawah sinar bulan.
Bangun dari duduknya, dia tidak boleh lama-lama berdiam diri disini. Kakinya melangkah pelan kembali melewati lorong yang sudah sepi.
Tidak ada rasa takut dalam dirinya saat melewati lorong itu seorang diri. Tentu saja, karna rasa takutnya lebih besar untuk seseorang yang berada dibalik pintu putih disana.
Seseorang yang tengah berbaring di atas bangsal dengan selang nafas di hidung nya. Mata terpejam itu terlihat damai dan tak terusik saat Chenle membuka pintu.
Melangkah mendekat dan duduk di kursi samping bangsal. Menatap wajah yang akhir-akhir ini selalu berkeliaran di fikiran nya.
Lagi, jantung nya berdegup kencang. Bukan karna gugup, melainkan karna perasaan takut. Chenle memegang lembut tangan yang terpasang infus itu dengan hati-hati.
Mengusap lembut seolah sedang menenangkan Peter. Matanya kini mulai berair lagi, dia sedih. Sangat.
Ingatan dulu kembali membuat dia merasa kacau. Kehilangan seseorang yang dia cintai adalah hal yang sangat menakutkan bagi nya. Hal yang sangat-sangat Chenle benci di dunia ini.
"Bangunlah.."
Suara parau itu keluar dari bibir nya, suara menahan isak tangis itu rasanya bergema di ruangan serba putih ini.
Chenle membenci ruangan seperti ini. Ruangan yang membuat dia berpisah dengan kekasih nya dulu. Ruangan dimana tangis Jisung pecah karna Jeno dan Renjun yang akan kembali membawa nya ke China. Sungguh, dia sangat membenci itu.
Chenle menggeleng, tidak seharusnya dia memikirkan Jisung di hadapan Peter yang tengah terbaring tak sadarkan diri. Chenle mengapus jejak air mata yang entah sejak kapan mulai membasahi pipi tirus nya.
"Maaf, maaf, maafkan aku.."
Iya, hanya itu kata yang bisa Chenle ucapkan saat ini. Karna hanya kata itu yang membuat dia menyesal.
Sesaat matanya melihat kilat cahaya dari jendela kamar rawat Peter. Matanya berbinar saat mengetahui hal itu, dia ingin membuat permohonan. Ya, yang dilihat Chenle adalah bintang jatuh. Kalian tau kan jika ada bintang jatuh kalian bisa membuat permohonan dan permohonan itu akan terkabul.
Chenle percaya, maka dari itu dia mengepal kan tangan nya. Merelakan sedikit tangan nya lepas dari tangan kekar Peter.
Memejamkan mata nya perlahan, diikuti hatinya yang meminta permohonan dengan sungguh-sungguh.
Tak lama dia membuka matanya dan menatap Peter yang masih sama dalam posisi nya. Kembali mengenggam tangan kekar itu dengan hati-hati.
"Aku meminta permohonan tadi, dan ku harap itu akan terkabul."
Ucap Chenle entah pada siapa. Peter bahkan masih memejamkan matanya, namun mungkin telinga nya dengar apa yang di ucapkan oleh lelaki manis yang di cintai nya.
Satu tetes air mata kembali jatuh. Rasa sesak menyelimuti dada nya, dia menahan isak tangis nya agar tak mengganggu Peter.
Mengecup tangan kekar itu lama dan penuh perhatian. Lalu diusap kembali, dan beralih menatap wajah damai Peter. Dia tersenyum, dia akan merekam wajah yang mungkin akan dia rindukan. Waktu nya hanya malam ini, besok dia tidak bisa. Jelas, dia tidak bisa melihat kepergian Peter.
"Berjanjilah padaku, jika kau akan kembali. Aku menunggumu.. "
::::::🕊::::::
Suara isak tangis dibalik pintu putih dengan tulisan nama Peter Park itu membuat beberapa orang yang berlalu di dekat nya menatap iba.
Taeyong tidak peduli. Dia sedih melihat semua ini, dimana Chenle yang kembali ditinggal dan melihat sang anak yang tak merespon ucapan Chenle.
Wajah nya sudah memerah sebab terlalu lama menangis, Jaehyun memeluk tubuh yang lebih mungil dari nya itu dari belakang.
Tangan nya tak tinggal diam, dia mengusap lembut perut sang istri. Tidak mau membuat bayi mereka terkena dampak stress ibunya.
"B-bagaimana.. C-chenle.."
Ucap nya gagap karna isak tangis nya sendiri. Jaehyun memeluk sang istri lebih erat, dia tau jika Taeyong sangat menyanyangi Chenle. Teramat malah.
"Peter.. Bangun nak.."
Sudah. Cukup. Jaehyun tak tahan akan tangisan gila sang istri. Dia membalikkan tubuh mungil itu yang kini sudah menghadap padanya. Menatap lekat manik sang istri dalam. Diusap nya jejak air mata yang itu, walau sesekali air mata itu kembali turun membasahi pipi nya.
"Ayo. Bawa Peter dan membuat nya kembali pada orang yang dicintai nya."
Setelah mengatakan itu Jaehyun langsung menarik tubuh Taeyong untuk masuk dalam dekapan hangat nya. Lelaki manis itu mengangguk dengan air mata yang tidak berhenti. Membasahi kemeja kerja Jaehyun yang belum diganti sebab mereka langsung bergegas setelah Jaehyun sampai rumah.
'Chenle, kumohon tunggulah.'
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
SPRING [jichen] END
FanfictionAku tidak butuh menjadi cinta pertama mu, yang aku butuhkan adalah menjadi yang terakhir. • sebelum baca ini silahkan baca Snow December dulu.. BxB!