Mading ramai dikunjungi. Para murid kelas sepuluh mungkin masih asing dengan fenomena ini. Beberapa dari mereka mewawancarai kakak kelasnya. Mereka bertanya-tanya, kiranya siapa pemilik inisal Dya? Mengapa hampir seluruh penghuni sekolah sangat penasaran dengan lukisan terbarunya?
"Kak, kenapa nggak ada yang kenal sama si Dya?" Siswi kelas sepuluh lagi-lagi bertanya pada kakak kelas yang baru saja melihat lukisan itu.
"Dia nggak pernah mengekspos dirinya ke publik. Kata ketua redaksi, sih, lukisan dia selalu ditaruh di depan pintu ruangan redaksi."
Untungnya kakak kelas yang satu ini baik hati dan tidak mudah risih karena siswi yang imut itu terus bertanya.
"Hebat banget bisa nyembunyiin identitas sedemikian rapat," gumamnya. "Oh, iya Kakak kelas berapa?"
"Dua belas."
"Lukisan ini muncul sejak kapan?"
"Pas gue kelas sepuluh semester kedua."
"Ah, berarti yang punya lukisan juga kelas dua belas?"
Kakak kelasnya mengedikkan bahu. Kemudian, ia melenggang pergi meninggalkan adik kelasnya yang masih belum puas mewawancarainya.
"Kok, gue nggak asing sama gambar ini," ucap Ketos SMA Tunas Bangsa. Rian namanya. Cowok most wanted SMA Taruna Bangsa yang penuh wibawa.
"Lo pernah lihat?" Teman di sebelahnya bertanya.
"Bentar gue inget-inget dulu."
Rian menaruh telunjuknya di dagu, berpikir. Ia seperti tak asing dengan bangunan bergaya Eropa itu. Kira-kira di mana ia pernah melihatnya?
"Ah, sial, gimana bisa gue sampe melupakannya?!" Rian memekik membuat seluruh orang yang berkerumun menoleh ke arahnya. Ia tertawa terbahak-bahak. "Gue inget orang ini."
"Suara lo kecilin, Rian." Temannya menarik tangan Rian menjauhi barisan orang yang masih terkagum-kagum oleh lukisan di mading. Oh, atau sekarang terkagum-kagum dengan suara Rian?
"Lo ngapain narik gue?"
"Lo emang seneng banget, ya, jadi pusat perhatian?"
Rian cuma nyengir tak berdosa. Sedari tadi ia nangkring di situ saja sudah banyak mata para cewek yang juling karena melihat terus ke arahnya. Apalagi kalau ia berteriak sambil tertawa, leher mereka bisa patah karena menoleh terus.
"Jadi, lo liat gambar itu di mana?"
Rian menceritakan kejadian hari minggu kemarin. Ketika ia berjalan-jalan di area kafe yang letaknya tak jauh dari toko alat lukis. Saat itu ia hanya iseng memotret lalu lalang kendaraan, para pejalan kaki, pedagang di pinggir jalan, dan banyak lagi momen yang bagus untuk diabadikan oleh kameranya. Rian adalah seorang fotografer amatir. Beberapa hasil fotonya sering ia pamerkan juga di mading.
Saat itu ia tak sengaja melihat tiga orang--satu lelaki tua, satu perempuan yang umurnya sebaya dengannya, dan satu lagi anak kecil--sedang menikmati hidangan mereka. Ia menyaksikan mereka tertawa lepas dari luar kafe. Beruntung kafe itu memiliki kaca besar yang kinclong, hingga Rian bisa melihat mereka dengan jelas.
Tangannya tergerak untuk mengabadikan momen membahagiakan mereka. Satu jepretan foto dengan hasil yang begitu memuaskan. Kamera polaroidnya langsung mencetak gambar. Ia tersenyum melihat hasilnya.
Rian sangat penasaran dengan cewek yang umurnya sebaya dengannya, karena Rian yakin ia pernah melihatnya di suatu tempat. Ia melangkahkan kakinya memasuki kafe bernuansa Eropa itu. Tali kameranya digantungkan di leher, tangan kirinya membawa foto cewek itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/242773765-288-k443460.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfeksionis #ODOCTheWWG
Teen FictionJika diibaratkan, hidup Claudya itu seperti pertunjukan sirkus. Kedua orang tuanya adalah penjinak sekaligus pelatih, sedangkan Claudya adalah binatang yang dipaksa membuat penonton terkesima. Semakin ia tunduk pada perintah mereka, maka semakin ia...