T.w.e.n.t.y-s.e.v.e.n

30 9 9
                                    

Lalu lalang siswa di koridor nampak lengang. Waktu memang masih menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Wajar sekolah masih terasa sepi. Beberapa siswa memilih untuk sampai di sekolah bersamaan dengan bel masuk berbunyi. Berbeda dengan Magenta dan Dion. Mereka terlalu semangat, sehingga selalu datang ke sekolah pukul enam lebih lima belas menit. Mereka selalu nongkrong dulu di kantin, menyantap sarapan sambil gibah.

Magenta memerhatikan Dion yang sedari tadi masih menatap nasi gorengnya dengan tatapan kosong. Ada yang aneh dengan cowok itu. Sejak di perjalanan menuju sekolah Dion diam saja. Biasanya cowok itu akan cerewet. Dion akan membicarakan banyak hal sampai ke pembahasan yang tidak penting.

Magenta menyentuh kening Dion. "Lo lagi sakit?" tanya Magenta.

"Hm?" Yang ditanya cuma mengalihkan padangan pada Magenta sekilas. Kemudian, Dion kembali mengaduk-aduk nasi gorenya yang sudah mulai dingin.

"Lo diem aja dari tadi. Kenapa? Lagi ada masalah?"

Sebagai sahabat yang baik, Magenta ingin peduli pada kondisi sahabatnya. Ketika Magenta sedang memiliki masalah pun, Dion selalu mananyainya, menemani Magenta, serta kadang memberi solusi padanya. Sekarang giliran Magenta bersikap seperti itu. Karena jarang sekali Dion terlihat lesu. Baru kali ini sepertinya.

"Gue lagi kesel aja," jawab Dion.

"Kenapa?"

"Gue aneh kok bisa gue suka sama Jessica yang jelas-jelas beda kasta sama gue. Yang hatinya penuh iri dan orangnya tegaan."

"Rasa suka kan murni dari hati, Yon. Kita nggak bisa milih siapa yang mau kita sukai."

Dion membenarkan ucapan Magenta. Namun, justru karena ia tak bisa memilih mana cewek yang mau ia sukai, ia jadi menelan kekecewaan.

"Gue udah ngungkapin perasaan gue ke Jessica," lirih Dion.

Magenta terkejut. "Serius? Terus responnya?"

"Udah jelas gue ditolak. Dia masih suka lo."

Entah mengapa Magenta malah merasa bersalah pada Dion. Padahal ia tak melakukan kesalahan apapun. Ia juga tak pernah memaksa Jessica untuk terus menyukainya. Malah, Magenta menyuruh Jessica untuk berhenti saja waktu itu.

"Lo harus usaha buat bikin Jessica pindah jadi suka ke lo, Yon."

"Genta, sudah jelas lo sama gue itu bagai majikan dan pembantunya. Kalau kita jalan bareng juga kan terlihat banget bedanya. Lo itu definisi kesempurnaan, sedangkan gue boro-boro sempurna, punya satu kelebihan juga enggak."

"Ini lo yang terlalu insecure dan nggak percaya diri."

"Iya emang nggak PD. Gue terlalu jelek."

"Fisik gampang ngubahnya tinggal perawatan. Tapi kalau hati susah. Lo punya hati yang lembut dan harusnya orang mandang itu dulu."

"Kebanyakan fisik yang diutaman di zaman sekarang."

"Yaudah lo tinggal ngubah fisik lo aja. Lo juga banyak duit, kok."

"Punya bokap gue. Kalau gue ngabisin duitnya buat ngubah tampilan, bisa-bisa gue dikirim lagi ke Jogja disuruh jadi pembokatnya Eyang."

Magenta tertawa melihat ekspresi Dion yang kesal. "Yaudah, Yon, lo ikhlasin Jessica, kalau jodoh nggak akan ke mana. Kalau nggak jodoh juga pasti ada gantinya yang lebih baik."

Dion mengangguk. "Eh, bentar. Sejak kapan lo jadi bijak kayak Mario Teguh? Biasanya kan gue yang nyeramahin lo."

"Sekali-sekali tukar posisi lah."

Tak terasa waktu berlalu begitu saja. Bel masuk sudah berbunyi nyaring. Magenta dan Dion bergegas memasuki kelas.

***

Pak Arya sudah memasuki kelas dan bersiap untuk menyampaikan materi. Seluruh siswa siap dengan catatan masing-masing untuk merangkum apa yang dikatakan Pak Arya. Metode mengajar Pak Arya memang begitu, entah dia malas menulis materi di papan tulis atau bagaimana, yang pasti ia lebih nyaman menjelaskan langsung dan memberi contoh biar siswanya yang menulis materi di buku tulisnya pakai pemahaman mereka sendiri.

Magenta tak terlalu fokus mendengarkan penjelasan Pak Arya. Cowok itu memiliki firasat buruk karena hari ini Claudya tiba-tiba saja tak masuk sekolah. Seberat-beratnya masalah yang dihadapi Claudya, tak pernah sekali pun ia tak datang ke sekolah. Karena ia terlalu takut pihak sekolah mengadukannya pada ayahnya.

Karena perasaan Magenta semakin tak keruan, Magenta meraih ponsel dan mengirim pesan pada Claudya. Ia menanyakan kabar Claudya barangkali ia sakit.

Pesan yang dikirimnya melalui Whatsapp hanya centang satu. Artinya ponsel Claudya tak mengaktifkan data seluler. Atau mungkin kemungkinan terburuknya ponsel Claudya juga tak aktif.

Magenta mengingat beberapa kejadian kemarin-kemarin. Ia tak menemukan tanda-tanda Claudya sakit atau apapun. Ia juga tak melihat Claudya menunjukkan sikapnya yang penuh tekanan, malah beberapa hari kemarin Claudya menunjukkan kemajuan. Ia lebih bisa mengendalikan emosinya sedikit demi sedikit.

Tiba-tiba ponsel Pak Arya berdering. Konsentrasi semua siswa langsung buyar seketika.

"Bentar, ya, Bapak angkat telepon dulu."

Selagi Pak Arya keluar untuk berbicara dengan si penelepon, semua murid meregangkan otot-otot mereka yang kaku akibat terlalu lama menulis. Ada yang menaruh kepalanya di meja berniat memejamkan mata sejenak. Ada yang memainkan ponsel akibat jenuh.

Magenta juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menelpon Claudya. Suara operator di seberang sana mengatakan jika nomor yang Magenta hubungi sedang tidak aktif. Magenta jadi semakin mengkhawatirkan keadaan Claudya.

Pak Arya sudah masuk kembali ke kelas. Otomatis semua murid kembali ke posisi awal.

"Anak-anak, minta perhatiannya sebentar." Pak Arya sepertinya hendak memberikan pengumuman. "Ada kabar buruk baru saja disampaikan oleh orang tua teman kita, Claudya. Ia meminta doa dari kita semua untuk kesembuhan Claudya. Saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit."

Firasat buruk yang sedari tadi dirasakan Magenta ternyata memang benar.

"Claudya emang sakit apa, Pak?" tanya Dion penasaran.

"Orang tuanya nggak menjelaskan detailnya. Nanti dari pihak sekolah akan menjenguk, nanti Bapak akan coba tanya."

"Parah nggak, Pak?" tanya siswa yang lain.

"Nanti Bapak kabari lagi kalau sudah ke sana, ya."

Mendengar kabar Claudya dirawat, ada sedikit rasa bersalah yang dirasakan Jessica. Ia takut penyebab Claudya jatuh sakit karena ada campur tangannya. Ia takut orang tua Claudya yang sudah ia provokasi yang menyebabkan cewek itu kenapa-kenapa.

"Jess, lo kenapa?" tanya Niki saat melihat Jessica menggigiti kukunya karena takut

"Gimana kalai ternyata gue penyebab Claudya sakit?"

"Nggaklah, emang apa hubungannya sama lo?" tanya Audrey dengan intonasi yang cukup tinggi sehingga membuat beberapa murid menoleh ke arahnya.

"Ada apa, Audrey?" Pak Arya langsung bertanya pada Audrey.

"Eh, nggak, Pak. Maaf."

Materi dilanjutkan. Semua akhirnya kembali fokus. Kecuali Magenta dan Jessica yang sama-sama masih memikirkan penyebab Claudya jatuh sakit.

"Pokoknya gue harus ke rumah sakig buat memastikan keadaan Claudya bukan karena gue," gumam Jessica.

Magenta pun berencana untuk pergi ke rumah sakit sepulang sekolah. Ia terlalu khawatir pada Claudya.

***

Perfeksionis #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang