T.h.r.e.e

85 24 30
                                    

Suara yel-yel para peserta ospek tahun ini menggema di dalam aula. Dion dan Magenta kebetulan sedang melewati ruangan besar itu. Dion langsung penasaran dengan kegiatan mereka. Cowok Jogja itu mencoba mengintip peserta ospek dari celah pintu yang terbuka. Sedangkan Magenta malah geleng-geleng kepala melihat tingkah temannya. 

"Gila, Ta, itu bocah cewek menggemaskan semua," celetuk Dion. "Gue jadi pengin tarikin pipinya satu-satu."

Magenta menarik kuping Dion. "Nggak sopan lo."

"Genta, sakit," rengek Dion sambil memegangi kupingnya yang memerah akibat tarikan Magenta.

"Makanya jangan punya niat jelek. Cewek-cewek kalau ditarik pipinya juga pasti kesakitan," jawab Magenta.

Dion nyengir. Cowok itu kembali berjalan di depan, memimpin Magenta menuju kantin.

Suasana di luar riuh oleh murid yang berkeliaran di lapangan, koridor, dan taman sekolah. Mungkin karena ini merupakan hari pertama sekolah dan mereka belum ada jadwal belajar. Alhasil kegiatan mereka hanya nongkrong di luar sambil gibah.

"Ta, gue mau tanya." Dion memelankan langkahnya supaya berjalan beriringan dengan Magenta.

"Apa?"

"Lo kejebak macet apa gimana, sih, kok bisa telat tadi?"

"Sengaja berangkat siang," jawab Magenta. Cowok itu menaruh tangannya di pundak Dion dan menarik cowok itu mendekat. Magenta berbisik pelan, "gue lagi menjalankan misi."

Dion langsung mengernyit bingung. "Misi apa? Mindahin penduduk bumi ke matahari?"

"Lebih gampang kalau lo doang, deh, yang gue pindahin ke sana sendirian," balas Magenta seraya terkekeh. Bisa-bisanya cowok itu bercanda di saat tampang Dion sedang serius-seriusnya.

"Janganlah, si Juno udah nggak ada di sekolah ini. Nanti kalau gue pindah ke matahari lo mau sama siapa, hah?"

Dion bersikap jemawa, seolah-olah Magenta cuma memiliki dirinya sebagai teman. Padahal di luar kelas Magenta cukup terkenal. Cowok itu mengikuti ekstrakulikuler sepak bola dan banyak siswa seangkatan dan adik kelasnya yang respek pada Magenta. Maka mudah saja mencari teman kalau seandainya Dion tak ada.

"Gue bakal nyari temen baru, ngapain sedih karena nggak ada lo?"

"Oh, jadi gitu. Rangga yang kamu lakukan ke saya itu ... ja-hat." Dion menirukan dialog Cinta pada film AADC2 dengan gaya yang amat lebay. Sampai-sampai Magenta ingin muntah melihatnya.

"Atur muka, woy!" Magenta langsung menampar pipi Dion agar cowok itu sadar dari kegilaannya.

"Eh tapi, Ta, masa gue nggak dikasih tahu sama Juno kalau dia mau pindah sekolah."

"Karena lo nggak penting di hidup dia," celetuk Magenta. Sontak membuat raut wajah Dion berubah masam.

Dion, Juno, dan Magenta merupakan sahabat yang ke mana-mana selalu bersama. Malah teman sekelasnya sering memanggil mereka dengan sebutan Kembar Tiga. Dion merasa tersakiti karena tidah tahu-menahu soal kepindahan sahabat karibnya.

"Kalian anggap aku apa? Aku ini manusia, Mas. Aku punya perasaan." Lagi, Dion berakting. Kali ini ia memerankan wanita tersakiti di sinetron kejar tayang.

Magenta tertawa. "Udah cukup, Yon. Lo bikin perut gue mules."

"Lo tahu soal kepindahan dia?" tanya Dion penuh selidik.

"Iya. Semalem gue ditelepon."

"Kok, dia nggak nelepon gue?"

"Makanya hape nggak usah dimatiin."

Dion mengingat-ingat kejadian semalam. Ia main Mobile Legend sambil rebahan dan berhenti karena ponselnya kehabisan daya. Lalu, ia mematikan dan men-charge ponselnya. Dion menonton tv karena bosan. Kemudian, ia tertidur dan membuka mata ketika matahari sudah terbit.

"Ah, sial."

"Nah, kan, lo yang salah."

Mereka sampai di kantin yang cukup ramai, tetapi tidak sampai berdesak-desakan. Dion langsung pergi ke tukang nasi goreng, sedangkan Magenta bertugas mencari tempat yang pas untuk makan.

Pandangannya jatuh pada meja kantin paling pojok. Ia ingin duduk di sana, tetapi ia melihat biang rusuh kelasnya saat ini sedang sibuk bersolek. Bila Magenta berjalan ke meja incarannya, ia harus melewati Jessica dan kawan-kawannya. Jika tidak mau melewati mereka, ia harus berjalan keluar kantin dulu, memutar ke samping tempat cuci tangan dan melompati pembatas kantin agar langsung duduk nyaman di meja pojokan itu.

Belum juga mengambil tindakan, Jessica sudah merasakan aura Magenta. Cewek itu melambaikan tangan. "Magenta, duduk sini!"

Magenta kebingungan. Namun sosok di belakangnya mendorong punggungnya. "Kelamaan mikir, lo," racau Dion yang kini membawa nampan dengan dua nasi goreng yang masih hangat.

"Lo pesen nasgor cepet banget," komentar Magenta.

"Ngambil pesenan orang."

Dion memang luar biasa.

"Gue nggak mau duduk bareng mereka," ujar Magenta.

"Siapa juga yang mau duduk bareng mereka? Gue tahu incaran lo meja di pojokan itu. Udah nggak usah muter-muter cukup bersikap cuek aja pas lewat."

Otak Dion ini kadang gesrek, tapi kadang bener juga. Mereka akhirnya melewati meja Jessica.

"Yon, duduk sini!" ajak Jessica.

"Ogah. Tadi lo nggak mau duduk bareng gue pas di kelas."

Skakmat! Jessica langsung fokus cermin lagi sambil menahan malu akibat ucapan Dion

***

Alih-alih nongkrong nggak jelas di sekitar koridor sekolah atau di kantin, Claudya lebih memilih untuk berdiam di tempat yang tenang. Perpustakaan sudah menjadi tempatnya bersembunyi sejak ia bersekolah di SMA Taruna Bangsa. Di sana ia bisa melakukan hal-hal yang ia sukai. Kadang ia membaca komik atau novel, kadang menonton drakor, dan lebih sering tidur. Perpustakaan di sekolahnya amat luas dan terpasang CCTV. Namun, Claudya tak pernah ditegur karena kebiasaannya itu.

Claudya membawa komik edisi terbaru dari rak perpustakaan. Kelebihan perpustakaan sekolahnya yaitu buku di sini amat lengkap dan ter-update. Maklum, sekolahnya adalah sekolah swasta yang menampung banyak sekali murid kaya. Untuk masuk ke sini, yang diutamakan adalah uang. Kalau kecerdasan itu nomor dua. Jadi, pelayanan di sini sangatlah terjamin. Namun, meski kecerdasan dinomorduakan, sekolah ini menampung murid-murid beasiswa. Sudah pasti mereka masuk ke sini bukan bermodal uang, tetapi kecerdasan. Hal ini cukup mengganggu bagi beberapa orang. Salah satunya Claudya. Ia jadi dipaksa masuk les oleh kedua orang tuanya supaya bisa melampaui, atau minimalnya setara dengan anak beasiswa.

Claudya duduk dengan nyaman. Ia membuka halaman pertama, kedua, ketiga, sampai tak terasa ia akan tiba di penghujung cerita. Tiba-tiba seorang cewek berambut ikal duduk di depannya.

"Kak," panggil cewek itu.

Claudya mengalihkan pandangannya dari komik yang sedang ia baca.

"Aku pinjem, ya, komiknya," kata cewek itu.

"Mata kamu masih normal, kan?" tanya Claudya sarkas.

"Eh?" Cewek itu kebingungan.

"Kamu nggak lihat komiknya masih saya baca?"

"Maaf, Kak, maksud gue, aku, eh saya,  setelah Kakak baca giliran saya." Cewek itu menjawab gugup. Tangannya bergetar dan keringat dingin membanjiri wajah imutnya.

Claudya tak menjawab perkataan adik kelasnya itu. Ia mengalihkan pandangan pada komiknya yang hanya tinggal tiga halaman terakhir. Namun, ia sudah lebih dulu kehilangan mood. Ia relakan tiga halaman terakhir itu. Claudya beranjak dari kursi dan melempar asal komiknya di meja. Cewek berambut ikal itu masih duduk di sana sambil menunduk. Ia masih ketakutan untuk sekadar melihat wajah Claudya.

***

[1063 kata]

Perfeksionis #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang