Banyak metode psikoterapi yang bisa dilakukan, tetapi akan lebih nyaman jika Indra menggunakan jenis interpersonal therapy (IPT) pada Claudya. Pada dasarnya terapi ini mengedepankan komunikasi antar individu, sehingga efektif menekan depresi. IPT juga membantu pasien mengidentifikasi malah emosi dan apa yang memicunya. Selain itu, Claudya juga akan lebih leluasa bercerita karena ia hanya didampingi oleh Indra tanpa orang lain lagi.
Indra telah bersiap untuk memberikan beberapa pertanyaan pada Claudya. Ia juga telah siap pada risiko apabila Claudya tak dapat mengendalikan emosinya. Ia yakin bisa menangani ini sendiri. Karena ini bukan pertama kalinya Indra membantu pasiennya keluar dari zona bernama depresi.
Pengamatannya selama satu minggu pada Claudya melalui cerita-cerita Magenta telah ia temukan kesimpulannya. Banyak perubahan yang terjadi, tapi bukan ke arah yang lebih baik. Beberapa hari ke belakang Claudya malah semakin terpuruk, berbeda sekali dengan Claudya yang pertama kali mengunjungi rumahnya. Hal itu sedikit membuat Indra cemas. Ia sudah membicarakan perihal konseling Claudya pada Magenta dan anaknya juga sudah membicarakan ini pada Claudya. Saat itu, Claudya setuju. Namun, karena kondisinya yang memburuk ini, emosinya juga semakin tak terkendali. Claudya malah menjauhi Magenta.
Untungnya Magenta selalu memiliki cara untuk membujuk Claudya agar mau menjalani konseling dengan ayahnya. Sampai akhirnya Claudya menyerah. Dan saat ini di sinilah Claudya berada. Di ruangan kerja Indra yang dipenuhi lukisan naturalis. Sengaja Indra perbanyak sampai hampir menutupi seluruh dinding. Ini hanya agar Claudya relax. Lelaki itu tahu Claudya sangat suka dengan lukisan. Maka dari itu, mungkin lukisan ini akan sedikit mengurangi kekhawatiran Claudya.
"Kamu santai aja, nggak usah tegang. Kalau kamu nggak mau ceritain hal-hal yang kamu anggap privasi kamu tinggal angkat jari kelingking, oke?" jelas Indra.
Claudya mengangguk paham. Cewek itu memainkan ibu jarinya karena gugup. Sesekali ia melihat beberapa lukisan yang tertempel di dinding demi menurunkan tempo detak jantungnya yang semakin menggema.
Claudya mengambil napas dan mengembuskannya perlahan. Ia sudah siap.
"Aku diberi pilihan oleh Mama. Ia menyuruhku menuruti semua perkataannya atau pergi saja dari rumah." Claudya memulai konselingnya dengan menceritakan beberapa kejadian yang baru saja terjadi di rumah. "Kupikir Mama hanya menggertak. Tetapi, sepertinya ia serius. Setelah tahu Mama bisa setega itu padaku, aku berpikir kalau aku ini memang hanyalah bonekanya. Kalau aku sudah tak lagi berguna, mungkin ia bisa membuangku saat itu juga."
"Ketika kamu menuruti keinginan Mama, kamu diperlakukan baik?" tanya Indra.
"Ya. Tapi, nggak sebaik itu. Mereka jarang ada di rumah. Kita bertatap muka hanya pas sarapan pagi, makan malam, dan saat weekend. Walaupun kayak gitu, Mama nggak pernah lupa pada program dietku. Dia selalu mengatur porsi makan dan penampilanku agar sesuai dengan standarnya. Asisten rumah tanggaku yang menjalankan perintah Mama dan akan melapor setiap malam." Claudya menarik napas untuk melanjutkan kalimat berikutnya, "dan Papa ... Papa selalu mengontrol segala aktivitasku. Papa juga mewajibkan aku setor nilai setiap ada ulangan atau ujian di sekolah. Kalau nilaiku cukup memuaskan, dia akan tersenyum. Kalau nggak sesuai harapannya, aku harus siap dibentak dan ditambahin jadwal lesnya."
"Lalu?"
"Aku awalnya juga memiliki ambisi untuk mendapat nilai bagus di setiap mata pelajaran. Namun, aku sadar aku nggak segenius itu. Aku terlalu capek karena hanya memiliki waktu yang sedikit untuk istirahat. Makin ke sini nilaiku merosot. Pernah satu waktu aku dimarahi sampai dilempari buku oleh Papa. Sejak saat itulah aku mulai menyontek saat ujian agar nilaiku tetap stabil meski aku nggak belajar.
"Aku terlalu suka membaca komik dan melukis. Hanya dua kegiatan itu yang membuat aku melupakan rasa lelah akibat belajar. Sayangnya Papa nggak suka kalau aku melukis. Aku sering melukis di kamar sampai pukul dua atau tiga pagi. Sejak saat itu aku menderita insomnia. Meski nggak melukis, aku nggak pernah mengantuk kalau malam. Pikiranku sering berisik, overthinking. Dari situlah aku mulai mengonsumsi obat tidur. Obat tidur itu juga bisa membuat aku lupa kalau sudah dimarahi Papa atau Mama."
"Kamu tahu bahaya obat tidur?"
"Tahu. Aku juga minum sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Hanya saja efek sampingnya sering nggak bisa aku tahan."
"Dari mana kamu dapat obat tidurnya?"
"Beli di apotik pakai resep yang ada cap milik Papa. Aku menirukan tulisannya."
Indra terdiam sejenak. Ia terkejut, karena ternyata masalah Claudya tidak semudah dugaannya. Betapa Claudya sangat dikekang dan tak diberi kesempatan melakukan hal-hal yang disukainya. Menurutnya Claudya cukup tangguh karena bisa bertahan selama ini. Banyak anak-anak di luar sana yang sering dimarahi oleh orang tuanya dan memilih untuk mengakhiri hidup.
"Kamu tahu alasan kedua orang tuamu bertindak seperti itu?"
"Karena Kakek dan Nenek."
"Ada apa dengan mereka?"
"Keluarga ayahku adalah orang terhormat. Kakek memiliki rumah sakit dan Papa adalah pewaris satu-satunya. Papa sudah dipersiapkan sejak ia kecil untuk bisa mengelola rumah sakit itu. Hanya saja saat kuliah dia melakukan kesalahan. Papa bertemu Mama, saling jatuh cinta, dan ...." Claudya diam. Kemudian, ia mengangkat jari kelingkingnya.
Indra langsung memahaminya.
"Lalu?"
"Nenek tak terlalu suka dengan Mama. Mama bukan berasal dari keluarga kaya dan Mama sekolah juga mengandalkan beasiswa. Setelah mereka menikah dan memiliki aku, Nenek tetap kurang suka dengan Mama. Karena itu Papa dan Mama mencoba terlihat seperti keluarga terhormat, berpenampilan sempurna, dan itu berlaku untukku juga. Aku harus hidup sesuai harapan Nenek supaya aku bisa menjadi pewaris berikutnya."
"Ah, begitu rupanya."
"Nenek baik padaku, meski ia sangat membenci Mama."
"Kenapa seperti itu?"
"Mungkin karena aku sudah terlihat seperti yang diharapkannya."
Claudya menatap beberapa lukisan di dinding lagi, dan ia teringat kejadian saat ayahnya menghancurkan seluruh alat lukisnya.
"Aku sudah kehilangan harapan saat Papa menghancurkan semua alat lukisku. Seolah Papa telah mencabik-cabik tubuhku dan aku mati rasa."
"Pernah ketahuan melukis?"
"Ya, baru-baru ini. Aku lihat emosi Papa sudah tak dapat dikendalikan. Aku merasa hidupku hancur saat itu juga."
"Lalu?"
"Aku berpikir untuk bunuh diri saat itu. Mungkin dengan cara melenyapkan nyawa akan menghilangkan segala masalah yang selalu mengikutiku."
"Tapi, kamu berubah pikiran?"
"Bukan, obat tidurnya malah kebawa oleh Magenta. Aku terlalu takut untuk melakukan percobaan bunuh diri yang lain seperti menyakiti diri sendiri dengan pisau atau menggantung diri di atap. Aku tidak mau mati dalam keadaan mengenaskan. Aku ingin damai, seperti saat tidur biasa."
"Claudya, bunuh diri bukanlah satu-satunya cara untuk menghilangkan masalah dalam hidup."
"Ya, aku tahu. Tetapi, untuk apa hidup seperti patung bernyawa yang hanya bisa dikendalikan oleh orang lain? Aku sudah terlalu lelah, tetapi sangat lemah untuk berontak. Aku sudah merelakan segalanya, teman tak kumiliki, waktu bukan milikku, bahkan masa depanku dan segala harapanku harus aku kubur begitu saja. Aku tak berdaya lagi untuk melanjutkan hidupku."
Claudya menangis histeris. Sepertinya emosi sudah menguasainya. Bayangan-bayangan ia dipaksa orang tuanya untuk melakukan hal-hal yang diperintahkan mereka berputar-putar di kepalanya. Kejadian saat ibunya melemparnya dengan bantal, ketika ayahnya merusak semua alat lukisnya membuat ia sakit. Suara gedoran pintu dan amukan ayahnya terdengar begitu nyaring. Claudya memukul dadanya yang sesak dan menjambak rambutnya kuat-kuat.
Indra langsung tanggap. Lelaki itu menepuk-nepuk punggung Claudya sambil membisikkan kalimat yang dapat menenangkannya.
"Tarik napas, Clau. Tenang, tenang. Semua akan baik-baik saja. Oke, relax."
Claudya menjerit. Suaranya terdengar hingga ke luar ruangan. Magenta yang duduk menunggu di tangga langsung berdiri dan membuka pintu ruangan ayahnya.
"Yah? Claudya kenapa?"
***
[1167 kata]
Part yang bikin aku pengin nangis. Selain karena kisah hidup Claudya yang mengenaskan, juga karena ngetiknya sambil tangan kesemutan :'
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfeksionis #ODOCTheWWG
Teen FictionJika diibaratkan, hidup Claudya itu seperti pertunjukan sirkus. Kedua orang tuanya adalah penjinak sekaligus pelatih, sedangkan Claudya adalah binatang yang dipaksa membuat penonton terkesima. Semakin ia tunduk pada perintah mereka, maka semakin ia...