F.i.v.e

75 18 16
                                    

Bel istirahat sudah berbunyi. Namun, Magenta masih sibuk mengisi kertas-kertas yang tadi diberikan Pak Arya. Magenta sudah kelelahan. Pasalnya, teman-teman sekelasnya tak bisa diajak diskusi dengan baik. Setiap ada satu orang yang usul, semua orang langsung mengomentarinya. Banyak perdebatan yang terjadi. Apalagi ketika mereka menyusun petugas upacara untuk minggu depan. Banyak yang tidak mau.

"Kita pake aja petugas yang dulu-dulu, Ta," usul Agnes.

"Oke, tapi siapa yang akan jadi pemimpin upacara? Masa iya gue merangkap jadi pembaca doa sama pemimpin upacara."

"Pemimpin upacara lo, kita nyari pembaca doa aja," ujar Icha.

"Lo mau?" tanya Magenta pada Icha.

"Gue kan ekstra paduan suara, Ta, gue pasti barisnya beda sama kalian."

Ah, Magenta hampir melupakan itu.

"Itu, tuh, yang ranking satu diem-diem aja. Nggak ada kontribusinya sama sekali untuk kelas." Jessica mulai menyindir Claudya, lagi.

Oke, cukup, Claudya sudah kehilangan kesabaran. Ia ingin sekali membungkam mulut Jessica yang pintar menyudutkan orang itu. Namun, lagi-lagi Claudya memikirkan risiko apabila ia bertindak gegabah.

"Gue jadi pembaca doa," kata Claudya. Setelahnya, ia keluar dari kelas. Napasnya sudah memburu. Tangannya mengepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Tujuannya saat ini adalah perpustakaan, tempat di mana ia bisa tidur dan melupakan segala kejadian di dalam kelas tadi.

Sementara itu, sudut bibir Jessica menyunggingkan senyum. Kali ini ia berhasil membuat Claudya kesal. Tunggu saja, Jessica memiliki 1001 cara untuk membuat Claudya terusik. Salah sendiri gadis itu membiarkan Magenta duduk bersamanya. Jessica takkan menyerangnya duluan bila cewek sok itu tidak memulai perang lebih dulu.

"Lo ada masalah apa sih, Jess, sama Claudya?" tanya Magenta setelah ia selesai menuliskan nama-nama petugas upacara untuk minggu depan.

"Lo dari tadi belain dia terus," balas Jessica. "Lo suka sama dia?"

Magenta diam.

"Udah, Jess." Melihat Jessica sudah ngegas, salah satu anak buah Jessica menarik tangan cewek itu untuk keluar dari kelas. Bisa bahaya kalau misalkan Jessica meledakan amarahnya pada Magenta. Sahabatnya tahu persis bagaimana perjuangan Jessica untuk mendekati Magenta. Jangan sampai cowok itu makin membenci Jessica hanya karena masalah sepele.

"Audrey, tangan gue sakit!" Jessica mencoba melepaskan tangannya dari genggaman temannya.

"Ups, sorry."

"Lagian lo kenapa, sih, dari tadi nyerang Claudya terus?" tanya Niki yang tadi mengintil di belakang.

"Gue kesel sama Claudya. Kenapa, sih, Magenta mesti duduk sama dia?"

"Gue mencium bau-bau tak sedap," ucap Audrey.

"Apaan?"

"Jangan-jangan Magenta emang suka sama Claudya?" Audrey langsung membekap mulutnya saat mendapat pelototan tajam dari Jessica.

"Ntar lo tanya Magenta, deh." Niki mengusulkan.

"Tadi gue lagi tanya dia, nih bocah malah narik tangan gue. Gimana, sih?" Jessica melipat tangannya di dada. Ia menghentikan langkah dan bersandar pada tembok di area koridor.

"Ya nanyanya nggak pake ngegas kaya tadilah. Yang ada nanti lo malah makin dibenci Magenta. Kita lihat aja dulu ke depannya mereka gimana. Nanti kalau iya emang ada bau-bau bakal jadian, kita siap bantuin lo nyerang mereka," pungkas Niki.

***

Rumah Claudya terbilang megah dengan fasilitas yang lengkap, membuat siapa pun akan betah bila berlama-lama di sini. Namun, hal itu tidak berlaku bagi Claudya. Rumah ini terlalu sunyi dan membuatnya jenuh. Kedua orang tuanya selalu pulang larut malam. Mereka hanya akan saling tatap muka ketika sarapan. Tidak ada suasana hangat seperti keluarga lain, tidak pernah ada sapaan yang menyenangkan, tidak ada tawa dan kebahagiaan yang Claudya dapat selama tinggal di rumah ini. Ia sudah seperti budak yang harus tunduk pada majikannya. Di sini ia seperti sedang disandera.

Perfeksionis #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang