Setelah menerima amukan dari ibunya semalam, Claudya kembali bersikap biasa saja. Seolah-olah adegan dilempari bantal itu cuma mimpi yang mesti segera dilupakan. Paginya Claudya kembali sarapan dengan kedua orang tuanya. Tentu saja dihiasi dengan suasana menegangkan. Ibunya mungkin masih marah padanya. Terlihat dari caranya memandang Claudya. Matanya seolah-olah mengancam Claudya supaya tak berani berbuat macam-macam lagi.
"Jangan lupa, Clau, hari ini kamu ada jadwal les," ucap ayahnya. Lalu, lelaki itu menyudahi sarapannya dan bergegas karena pasiennya yang semalam kritis hari ini akan dioperasi.
"Hm." Claudya menanggapi dengan deheman. Syukurlah ibunya tak berkomentar.
Ah, rutinitas itu akan dimulai kembali. Bagi Claudya, hidupnya adalah repetisi yang membosankan. Pagi ia bersiap ke sekolah, lalu belajar di kelas, sorenya mengikuti les sampai malam, pulang dari tempat les membersihkan badan lalu tidur. Claudya sebenarnya sudah muak. Namun, ia sama sekali tidak bisa keluar dari zona itu. Memberontak sama saja dengan menyerahkan diri untuk diperlakukan lebih buruk lagi oleh orang tuanya.
Claudya hanya mengingat kalimat Pak Tarno, bahwa hidup ini tak bisa berhenti begitu saja. Meskipun ia ingin segera menepi dari rasa sakit, ia tetap harus mengikuti alur hidupnya yang menyedihkan. Ia yakin suatu hari nanti keadaan akan membaik. Semoga.
Dari kejenuhannya menjalani hari, ada satu kegiatan yang ia sukai, yaitu melukis. Saat ia mencampurkan warna membentuk sebuah gambar yang estetik di kanvas, saat itulah ia merasa sedang meluapkan kegundahan hatinya. Ia membuat dunianya yang indah. Seratus persen berbeda dengan dunia yang sedang dijalaninya saat ini. Ia merasa terbebas dari beban-beban yang memberatkan pundaknya saat menatap lukisan hasil tangannya sendiri.
Sayang sekali kegiatan melukis itu sangat dibenci oleh ayahnya. Beliau menganggap melukis itu membuang-buang waktu. Lebih baik waktu yang berharga itu dihabiskan untuk membaca buku, menyelesaikan soal-soal yang rumit untuk melatih kinerja otak.
Claudya sering mengunci diri di kamar untuk melakukan hobinya. Ia akan pura-pura sedang membaca dan butuh konsentrasi. Ayahnya mempercayai ucapannya. Claudya merasa beruntung karena kamarnya tidak dipasang CCTV. Kalau ia sampai ketahuan berbohong, ayahnya mungkin bisa berbuat lebih buruk dari perbuatan ibunya semalam.
***
Pukul 15.00, bel pulang berbunyi. Claudya langsung membereskan semua alat tulisnya. Sebelum pergi ke tempat les, ia ingin mampir dahulu ke toko alat lukis.
Pak Tarno sudah standby di depan gerbang sekolahnya. Saat melihat Claudya berjalan tergesa-gesa, ia segera membukakan pintu mobil.
"Pak, ke tempat biasa dulu," ucap Claudya.
"Jadwal les Non sekarang jam setengah empat." Pak Tarno mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati. Lelaki tua itu tahu Claudya ingin ke toko peralatan lukis, tetapi tuannya berpesan agar ia harus sampai di tempat les tepat waktu. Pak Tarno sangsi nona mudanya bisa berbelanja dengan waktu cepat. Selama ia mengantar Claudya, cewek itu pasti menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk memilih beberapa kuas dan kanvas. Belum lagi peralatan lainnya. Mungkin jika dikalkulasikan bisa sampai dua jam.
"Sebentar aja, Pak, cuma dua puluh menit," bujuk Claudya. "Aku janji."
"Janji, ya, Non? Bapak takut kalau Non telat, Non sama Bapak ditegur oleh Tuan."
"Iya, janji, Pak."
Mobil melaju membelah jalanan yang lumayan sepi. Pak Tarno berkendara sedikit cepat. Karena tidak mungkin ucapan Claudya tidak meleset. Dua puluh menit mungkin sama dengan satu jam.
Setelah sampai di toko peralatan lukis, Pak Tarno memarkir mobilnya. Claudya turun dan Pak Tarno membuntuti Claudya masuk ke toko.
"Pak Tarno mau ke toilet?"
"Mau ikut Non," jawabnya polos.
"Tunggu aja, kayak biasa, Pak," tolak Claudya. Jika ia dibuntuti begini, ia tak akan leluasa.
"Nanti Non telat."
"Yaudah terserah Pak Tarno."
Toko ini sudah menjadi langganan Claudya sejak ia kelas delapan SMP. Pak Tarno yang merekomendasikan. Peralatan lukis di sini sangat-sangat lengkap.
Saat sibuk mencari kanvas yang sesuai dengan keinginannya, mata Claudya tak sengaja melihat sosok laki-laki yang dikenalnya. Ia sontak menarik tangan Pak Tarno untuk pergi.
"Claudya!"
Claudya menghentikan langkahnya ketika sebuah suara memanggil namanya. Sial. Ia mengumpat dalam hati.
Cowok itu, cowok yang sudah beberapa hari ini ada di sampingnya. Magenta. Cowok yang menjadi penyebab kesialannya. Ia harus siap dirundung oleh Jessica dan kawan-kawannya karena cowok ini.
"Hai." Magenta menyapa.
Claudya membalikkan badan. Cowok yang dihindarinya itu sudah berdiri tepat di hadapannya, menenteng sebuah kantong plastik berisi buku gambar dan pensil gambar. Ada juga sebuah kanvas berukuran sedang dan cat air. Claudya memerhatikan barang bawaan Magenta cukup lama. Apakah Magenta juga suka menggambar dan melukis?
"Gue kira tadi lo buru-buru pergi mau ke mana, ternyata mampir ke sini juga. Tahu gitu gue ajak bareng tadi pake motor."
"Lo nggak usah sok akrab, sampe manggil-manggil nama gue kayak tadi."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Claudya kembali menarik tangan Pak Tarno untuk segera pergi dari tempat ini.
Magenta menatap punggung Claudya yang kian menjauh. Ada sebuah benteng tak kasat mata yang menghalanginya mendekati cewek itu, yaitu keangkuhan. Magenta hanya perlu sedikit usaha untuk merobohkannya.
***
Guru les Claudya yang baru adalah Ibu Maya, perempuan berusia tiga puluhan dan belum menikah. Dari wajahnya yang cantik, Claudya yakin perempuan itu rajin perawatan.
"Materi di sekolah sudah jauh, Clau?" tanyanya saat pembelajaran hari ini akan dimulai.
"Belum. Baru belajar bab awal."
Claudya melihat keluar jendela. Langit di sore hari tampak indah karena sinar jingga perlahan terlihat. Andai saja tadi ia jadi membeli alat lukis. Mungkin momen ini akan ia abadikan sekarang.
Gedung tempat ia les berlantai tiga. Di sini banyak sekali ruangan kelas, hanya saja berukuran kecil. Karena siswa yang les tidak berkelompok. Mereka les privat. Dalam ruangan itu hanya terdiri dari satu tutor dan satu murid.
Claudya berada di lantai tiga. Di balik dinding kaca, ia dapat melihat taman di bawah sana. Biasanya para murid duduk santai di sana sembari menunggu tutor mereka.
"Fokus, Clau."
Bu Maya menyadarkan Claudya. Claudya disuruh membuka buku miliknya. Ia menyuruhnya untuk membaca terlebih dahulu. Lalu, ia menuliskan soal fisika di papan tulis. Entah soal itu membahas tentang apa. Claudya sama sekali tak mengerti.
"Soal ini biasanya muncul di ujian nasional. Ada di bab pertama saat kelas sepuluh ...."
Bla bla bla.
Claudya tak begitu memerhatikan Bu Maya. Ia malah asyik memainkan pensilnya. Menggambar sebuah istana kerajaan yang megah. Itu adalah istana yang sering ia lihat di kartun Sofia The First.
"Kamu paham?" tanya Bu Maya.
"Iya."
"Oke. Kerjakan soal nomor dua sekarang. Saya ke toilet dulu sebentar."
Claudya langsung kaget. Metode belajar Bu Maya sangat berbeda dengan metode belajar Bu Jihan, tutornya saat kelas sebelas. Biasanya Bu Jihan akan menerangkan dulu semuanya baru diberi soal. Itu pun dikerjakannya nanti pertemuan berikutnya. Lah, ini?
Untungnya Bu Maya ke toilet, ia jadi bisa searching jawaban di Brainly.
Namun, entah mengapa soal itu tak pernah ditanyakan oleh orang lain di Brainly. Apakah Bu Maya membuat soalnya sendiri? Benar-benar guru les terbaik, seperti apa yang dibilang ayahnya.
Sial. Lagi-lagi Claudya menggerutu.
"Ah, mending tidur."
***
[1108 kata]
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfeksionis #ODOCTheWWG
Novela JuvenilJika diibaratkan, hidup Claudya itu seperti pertunjukan sirkus. Kedua orang tuanya adalah penjinak sekaligus pelatih, sedangkan Claudya adalah binatang yang dipaksa membuat penonton terkesima. Semakin ia tunduk pada perintah mereka, maka semakin ia...