Matahari menyembul menyudahi malam panjang Claudya. Cewek itu terbangun dengan kondisi yang amat kacau. Kepalanya terasa berat. Ia berkali-kali memijat pelipis untuk menghilangkan pusing. Tubuhnya lemas, bahkan untuk berjalan ke kamar mandi saja ia tak sanggup. Claudya memaksakan berjalan dengan cara merayap pada tembok.
Claudya menatap dirinya di cermin. Wajah penuh kesedihan itu lagi. Ia muak terhadap keadaan yang membuatnya sekacau ini. Claudya menyalakan shower, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya. Isak tangis yang sedari malam ia tahan tumpah seketika. Air matanya kembali dibasuh oleh dingin air dari atas sana.
Claudya sudah tak bisa membayangkan apa yang akan ia lalui setelah ini. Ia hanya ingin terus tertidur, menghilangkan segala pikiran negatif dan mengistirahatkan otaknya yang terus dipaksa berpikir.
Setelah membiarkan air dingin itu membasahi tubuhnya, Claudya menggigil. Ia langsung meraih handuk yang tergantung dan keluar. Rasa pusing yang menderanya ia abaikan sejenak.
Claudya bergegas memakai seragam, membubuhkan bedak tipis-tipis pada wajahnya agar tak terlalu pucat, dan memoleskan sedikit pelembab bibir. Kemudian, ia keluar dari kamarnya yang ternyata sudah tak terkunci lagi. Claudya akan melewatkan sarapannya. Kedua orang tuanya pun sepertinya masih berada di kamar mereka. Ini kesempatan bagi Claudya untuk pergi lebih dulu dan tak perlu bertatap muka dengan kedua orang tuanya.
Pak Tarno sedang memanaskan mobil. Begitu melihat Claudya sudah keluar, lelaki tua itu langsung membukakan pintu.
"Non udah sarapan?" tanya Pak Tarno.
"Belum."
"Mau mampir ke suatu tempat?"
"Nggak usah, Pak. Biar nanti sarapan di kantin aja."
Pak Tarno tak bertanya lagi. Ia takut mood Claudya semakin memburuk. Pak Tarno melajukan mobilnya dalam kecepatan sedang. Lalu lalang kendaraan belum padat karena masih cukup pagi.
Sesampainya di sekolah, Claudya malah bertemu dengan perusak mood sesungguhnya. Magenta baru saja turun dari motor.
Magenta memerhatikan Claudya yang keluar dari mobil. Ia ingin sekali menanyakan bagaimana keadaan cewek itu. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia sadar, semua masalah berawal dari Magenta. Maka sebisa mungkin cowok itu tak akan menambah masalah baru.
Claudya mampir ke kantin dahulu. Ia memesan soto ayam dan susu hangat. Saat ia membawa nampan dan mencari tempat duduk, seseorang memanggil namanya untuk mendekat.
"Claudya!"
Mata Claudya membulat sempurna. Bagaimana mungkin ia bertemu dengan Rian dalam keadaan yang seperti ini?
Claudya ingin menghindar, tapi ia malah akan terlihat aneh. Untuk apa dia menghindari Rian? Claudya justru ingin bertanya perihal alasan Rian tak membocorkan identitasnya saat itu. Dengan langkah pelan akhirnya Claudya sampai di meja yang Rian duduki. Ia ikut duduk di depan Rian dan langsung menyantap sarapannya.
"Ternyata ada yang bocorin identitas lo duluan," ucap Rian memulai pembicaraan.
"Iya. Kenapa bukan lo yang membocorkannya?"
"Gue menghargai privasi orang."
"And?"
"Dan gue nggak suka kalau lo lebih terkenal dari gue."
Claudya menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak mau tersaingi?" tanya Claudya.
"Maybe ... yes."
"Santai. Lo masih dipuja banyak kaum hawa."
"Lo juga banyak dipuja kaum adam."
Claudya malah menanggapi dengan menaikkan bahunya tak acuh.
"Sayang banget semua orang terlalu takut buat mendekati lo. Kecuali temen sebangku lo itu yang terus aja jagain lo dari jauh udah kayak bodyguard aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfeksionis #ODOCTheWWG
Genç KurguJika diibaratkan, hidup Claudya itu seperti pertunjukan sirkus. Kedua orang tuanya adalah penjinak sekaligus pelatih, sedangkan Claudya adalah binatang yang dipaksa membuat penonton terkesima. Semakin ia tunduk pada perintah mereka, maka semakin ia...