Ini adalah minggu kedua Alesha menghindari Jae. Setelah beralasan kepada Jae melalui Diva soal padatnya jadwal fisioterapi yang menguras tenaga, Jae harus rela menelan kenyataan dengan jadwal barunya yang timpang-tindih dan selalu penuh, membuat Jae kesulitan untuk bertemu dengan Alesha. Dan hari ini Jae harus menelan kenyataan pahit bulat-bulat kalau Alesha benar-benar nggak mau ketemu Jae.
"Dari tadi pagi dia bilang dia nggak mau ketemu siapa-siapa. Marsha sama Mey aja nggak boleh masuk, Tante nggak tahu kenapa... Dia diem aja..." ujar Tante Sita. Mereka berdua berada di depan ruangan.
"Alesha-nya bener-bener nggak ada ngomong apa-apa, Tante?" tanya Jae, berusaha mengais-ais harapan setidaknya yakin kalau Alesha tidak meragukan dirinya. Ini masih jam tujuh malam, seharusnya Jae masih bisa berada di sini tapi sepertinya Alesha memang nggak berkenan ditemui.
Jae tahu gadis itu berusaha menghindarinya dalam dua minggu terkahir ini. Ya, dimulai dari semua jadwal kunjungan yang di ketatkan, belum lagi dokter yang berulang kali menahan Jae masuk. Sekarang Tante Sita.
"Maaf Jae, Tante udah berusaha banget bilang sama Kinara buat ketemu karena kamu udah beberapa kali ke sini nggak ketemu dia tapi dia bilang dia nggak mau ketemu siapa-siapa. Capek katanya..." ujar Tante Sita.
"Tapi dia nggak kenapa-napa, kan Tante? Maksudnya... dia nggak sakit atau..."
"Enggak kok, cuman dianya aja yang emang kecapean. Beberapa hari ini dia forsir semua tenaganya buat bisa jalan biasa lagi. Badannya masih memar, tulangnya juga masih harus banyak istirahat. Puji Tuhan nggak papa..." ujar Tante Sita sambil tersenyum.
Jae menganggukkan kepalanya lega. Ia kemudian menghela nafas panjang.
"Kalau gitu, tolong bilangin ke Alesha aja ya, Tante. Bilangin kalau saya sayang sama dia, bilangin juga kalau saya kangen. Nggak papa kok kalau emang karena kecapean, tapi kalau dia mau kabur dari saya, jangan harap saya lepasin. Saya cuman mau bilang itu sih tante. Maaf kalau kesannya ngancem, tapi emang saya nggak berniat buat lepasin dia juga..." ujar Jae akhirnya.
Tante Sita tidak tertawa tapi ia tersenyum dan menepuk pundak Jae, "kamu jaga kesehatan ya, Jae. Jangan makan sembarangan. Kata Kinara kamu punya banyak alergi ya? Tolong hindari makanan yang bikin kamu alergi ya."
Jae mengangguk, "pasti Tante. Saya pasti jaga makan kok tante. Kan saya harus sehat buat jagain Alesha. Kalau gitu saya pamit pulang dulu ya."
Dan Jae harus membalikkan tubuhnya dan menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa bertemu Alesha hari ini. Jae harus rela, memberi lebih banyak waktu dan jarak untuk Alesha, walaupun jujur Jae benar-benar tersiksa dengan keadaan seperti abu-abu seperti ini.
Ia tidak bisa mendengar suara Alesha yang ngomel kalau Jae begadang sampai pagi, yang ngomel kalau Jae makan sembarangan. Yang ngomel kalau Jae main game terus dan nggak mau gerak dari atas kasur. Tapi juga yang bakalan ketawa kalau Jae bilang sesuatu yang bahkan nggak lucu. Tawa Alesha yang terdengar sangat renyah di telinga. Heck, dia bahkan akan sangat rela melihat Alesha menangis selama itu bukan karena dirinya.
Jae harus melangkah pergi dari rumah sakit itu dan memberikan lebih banyak waktu.
***
[ Candice ]
Candice
can we met?WHAT DO I DO TO OWE YOU THIS PLEASURE
Sure, Jae
Mau kapan?Sekarang
Gile emang lu
untung gua gabut
oke aja gua mah
ayo.***
"Gua masih nggak percaya, Jae..." ujar Candice sambil meminum kopi yang ia pesan itu. Jae mengangkat bahu, "iya. Gua sendiri juga masih nggak bisa percaya. Berasa mimpi buruk gua, padahal kejadiannya udah hampir sebulan berlalu."
"Gua emang broken home, but I don't think it's just perasaan malu deh Jae. Pasti banget lebih dari itu," ujar Candice akhirnya.
Jujur Jae nggak tahu mau cerita sama siapa lagi karena Candice satu-satunya yang paham soal masalah beginian. Semua anak-anak yang deket sama dia, keluarganya baik-baik aja dan cenderung adem. Kalau Candice, Jae tahu kalau gadis itu berada di posisi yang bisa dibilang cukup paham dengan kondisi Alesha saat ini.
"Maksud elu 'more than malu' tuh apaan anjir?" tanya Jae.
Candice menghela nafas panjang, "elu bilang sama gua tadi kalau Ucha ini udah terlibat KDRT dari SMA, kan? I mean, elu belum pernah denger ini sebelumnya gitu?" tanya Candice.
"Nope, not even once. I have no clue at all, Candice. Like seriously. Temen-temennya Alesha temen gua juga, I mean, Marsha bahkan nggak pernah ngomongin soal keluarga Ale sama gua. Cuman emang pernah bilang buat nggak nanya lebih jauh tentang Ayahnya, tapi gua nggak nyangka banget kalau bakalan seserius ini. KDRT dan nggak cuman sekali," ujar Jae.
Jae masih merasa ngilu bercampur ngeri ketika ia kembali mengingat kondisi Alesha yang tergeletak di atas lantai dengan kondisi babak belur dan berantakan. Jae harus bilang kalau dia shock juga, apalagi kamar rawat Alesha bolak-balik di kunjungin sama polisi, dan juga mungkin orang-orang dari kejaksaan dan itu yang bikin makin hari Alesha makin dingin. Kaya bener-bener pengen menghilang aja dari dunia.
Jae nggak tahu apa-apa. Dia clueless.
"Waktu itu dia pernah muncul dengan mata lebam, waktu pertama kali ketemu sama gua tapi habis itu nggak pernah lagi. Nggak ada bahas soal mata lebam dia juga, nggak ada bahasan tentang apapun mengenai itu. Dan gua juga baru tahu kalau Alesha emang vakum lama dari pelayanan di gereja karena dia harus recovery dari apa gitu... gua nggak ngerti," ujar Jae pelan.
"Ah, gua paham... terus cowoknya selingkuh kan?" tanya Candice. Jae mengangguk.
"Itu bisa jadi trauma mendalam juga sih, gila tuh cewek elu masih bisa waras setelah di KDRT-in, di selingkuhin, dan dikhianati sama pacar dan sahabatnya sendiri..." ujar Candice.
Jae mengangguk. Alesha memang sesuatu. Ia tidak perlu di beri tahu dua kali juga sudah tahu. Kemudian Candice menghela nafas, "jujur gua nggak tahu gua mau bilang apa karena gua nggak tahu kalau masalahnya bakalan serumit ini Jae. Emang gua bukan pakar psikologi atau apa. I am freaking political science prodigy and not knowing much about social, tapi gua cuman bisa bilang, elu butuh banget sabar."
"Sabar doang nggak bisa juga sih, elu harus ngelakuin sesuatu. Elu harus berkorban sesuatu, elu beneran sayang kan sama dia?" tanya Candice. Jae mendengus, "masih nanya lagi."
"Ya, kalau elu mau berjuang dan totalitas, elu harus tetep berada di samping dia. Ibarat kata, cewek elu sekarang lagi battle sama dirinya dia sendiri. Yang gua tangkep dari cerita elu, dia nggak percaya diri. Dia ngerasa nggak worth it. Dia butuh di tolong, dan consideration. Tapi balik lagi ke elu, dan juga dari pribadi cewek elu. Kalau cewek elu emang bener-bener bisa bangkit dan lihat dunia dengan cara pandang yang berbeda, gua yakin banget sih... hubungan kalian bakalan berhasil," ujar Candice pelan.
"Jadi..."
"Jadi cewek elu lagi mental breakdown banget, bayangin aja, dengan bertubi-tubi rasa sakit yang ia terima, terus dateng elu, dia bahagia, dan tiba-tiba bokapnya balik, bikin dia masuk rumah sakit karena babak belur. God... itu pasti berat banget buat dia," ujar Candice.
"Gua bakalan lebih merana kalau nggak sama dia sih. Gua udah bayangin semua masa depan gua sama dia. Gua udah prepare semua bisnis gua sama Nanda. Tiba-tiba ini dateng..." ujar Jae.
Candice menghela nafas, "gua yakin elu bisa Jae, dan gua yakin cewek ini bener-bener patut di perjuangkan. Nggak kaya cewek-cewek elu yang sebelumnya itu. Yang tahunya nuntut, yang tahunya morotin elu doang mentang-mentang tahu bokap lu diplomat."
"Thanks, Candice. Gua nggak tahu bakalan cerita sama siapa kalau nggak sama elu..."
-----------------------------------------------------
Comforting words for Jae, please on comment below?
Jangan lupa taburi bintang ya!-Ale 🌻
![](https://img.wattpad.com/cover/234326414-288-k768051.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Call Me by My Name - Lokal! Alternate Universe • pjh
Chick-LitJae always hates his name "Anjaeni" since childhood. For some reasons, he just found his name makes no sense. That's why Jae risih banget waktu denger temen-temen "Cell Group"-nya manggil seorang cewek berparas lugu dengan senyum manis dengan mata s...