epilog

402 25 1
                                    

Setelah menyelesaikan kuliah dengan jurusan bisnis selama empat tahun, Dikta memilih untuk kembali ke jakarta. Orangtuanya menyambut kepulangannya dengan sangat senang. Oh iya Dikta juga membawa kado untuk Dinar---adik kesayangannya yang sedang berulang tahun tepat di hari ini.

Dengan langkah gontai, Dikta mengetuk pintu masuk dengan pelan. Koper yang ada disampingnya masih setia ia geret. Tak lama ia di suguhkan pemandangan yang membuat rindunya dapat terobati selama beberapa tahun belakangan ini. "Akhirnya kamu pulang, Nak." Lirih sang mami yang sudah kelewat kangen dengan sang anak. Betapa rindunya ia saat melihat anak pertamanya pulang kerumah setelah beberapa tahun tidak kembali ke pelukannya.

Dikta mengelus pelan punggung sang mami. "Jangan nangis dong, nanti cantiknya hilang. Iya gak, Pi?" Sembari mengusap sudut mata sang mami yang sudah berlinang air mata.

Papi Dikta hanya tersenyum. Meski tidak bersuara. "Ayo masuk, mami mu sudah masak kesukaanmu." Mereka kembali masuk kedalam rumah.

Empat tahun lamanya ia tidak melihat tempat berlindungnya, apa lagi kalau bukan rumah. Sebuah bangunan yang di bangun oleh sang papi dari hasil jerih payahnya sendiri. Dari pagi hingga malam ia bekerja keras demi membangun istana yang megah untuk keluarga tercinta.

"Kamu mau makan apa, Nak?" Tanya sang mami.

Diatas meja makan sudah banyak menu makanan yang tersaji. Dari yang mulai pedas, gurih, sampai ada makanan penutupnya juga. Luar biasa, maminya Dikta terlalu bahagia mendengar kabar kepulangan sang anak.

Dari tadi Dikta tidak melihat Dinar. Ia pikir pasti adiknya itu sedang sekolah. Kadonya akan ia berikan disaat Dinar pulang sekolah.

Mereka berdua sebagai orang tua Dikta, merasa gagal. Sejak melihat betapa rapuhnya sang anak saat patah hati. Mereka tidak akan pernah tahu kalau tidak melihat kejadiannya secara langsung. Cinta memang buta, sering kali membuat seseorang kehilangan arah.

"Gimana tinggal jauh dari mami? Kamu disana makan apa?"

Baru suapan pertama, sudah di beri pertanyaan. Untung sayang.

"Aku selalu pesan makan cepat saji, Mi. Kalau aku masak juga aku gak bisa." Diakhir ucapannya dia tertawa. Meski agak sedikit garing.

"Papi harap, empat tahun lamanya untuk mengejar impianmu sudah membuat kamu mengerti tentang kehidupan yang sesungguhnya tanpa kami didekatmu. Jadi karena kamu sudah menyelesaikan kuliahmu, papi akan memberikan pekerjaan padamu. Kamu mau kan?"

Dikta mengambil gelas yang berisi air putih. Tiba-tiba tenggorokannya itu terasa kering. "Apa gak terlalu kecepatan, Pi?"

"Lebih cepat lebih baik. Kamu bisa kerja sebagai karyawan dulu, nanti papi akan lihat kamu mampu atau tidaknya untuk memimpin perusahaan kita di cabang lain. Tapi papi sudah yakin sih, kamu pasti akan pandai mengelola perusahaan kita." Jawab Papi Dikta dengan tegas. Tidak ada tanda keraguan dalam pengucapannya, seolah-olah ucapannya itu tidak menerima bantahan.

"Oh iya, kamu kapan mau punya keluarga kecil? Ingat loh, umurmu Dikta. Mami juga kan mau gendong cucu. Teman-teman mami itu anaknya udah banyak yang nikah, kemarin pas mami kumpul sama ibu-ibu yang lain ada yang baru aja dapet cucu." Desak mami Dikta.

Pikiran Dikta langsung tertuju pada ucapan sang mami yang bilang mau gendong cucu, apa jadinya kalau dia akan menjadi seorang ayah? Jadi papa muda gitu? Terus ibunya siapa? Kalau gak sama Kala, mana mau dia jadi papa muda untuk anak-anaknya kelak. Biar saja dia dibilang budak cinta, tapi memang benar kenyataannya sih kalau perasaanya itu masih tertuju pada satu orang yaitu Kala.

Jantung Dikta berpacu lebih cepat. Hatinya ikut tersambar saat ucapan itu dapat didengar olehnya. "Mami udah ngomongin cucu aja, Dikta aja belum ada niatan untuk melamar atau menikah, Mi. Kalau untuk cucu pasti Dikta kasih, tapi nanti kalau udah ada jodohnya." Ucap Dikta yang sambil mengunyah makanannya.

"Siapa nama wanita itu?" Tanya papi Dikta.

Dikta mengerutkan dahinya. "Wanita yang mana?" Dengan polosnya dia bertanya seperti itu. Ini Dikta lagi kenapa sih? Kok semenjak jadi anak rantau, dia malah makin bobrok? Ya gak papa juga sih jadi orang bobrok, gak salah juga kok.

"Wanita yang sudah membuatmu hampir gila, haduh siapa namanya, papi lupa." Frustasi papinya Dikta saat mengingat kembali nama wanita itu.

"Namanya Kala,"

Empat hurup yang dapat menimbulkan efek begitu dahsyat bagi Dikta. Nama itu bagaikan rumus yang selalu di hafal olehnya. Wanita itu benar benar mengubah dunia Dikta.

"Oh iya, nama yang bagus. Pantesan kamu sampai tergila-gila sama dia. Kapan kamu mau ngelamar dia? Nanti keburu diambil loh sama orang." Celetuk Papi Dikta.

Ternyata Dikta dengan kedua orang tuanya satu pemikiran. "Kamu jangan terlalu lama untuk menggantungkan hubungan sama anak orang. Gak enak tau digantungin tanpa kepastian, kamu gak mau kan itu terjadi pada adikmu nanti? Perempuan itu lebih suka diberi kepastian, perempuan itu gak akan mau diajak hidup susah yang pada akhirnya nantinya ditinggal juga disaat laki-laki yang sudah ia temani dari nol meninggalkan begitu saja, tapi kalau diajak berjuang bareng-bareng pasti mau. " Kata Mami Dikta yang sedang menasehati anaknya yang paling kasep.

"Tapi dikta belum ada persiapan untuk melamar, Mi. Aku aja baru lulus kuliah, belum ada pekerjaan. Mau dikasih makan apa nanti istriku." Jawab Dikta sambil menyuapkan nasi kedalam mulutnya. Mungkin masakan maminya terlalu nikmat bila tidak dimasukkan kedalam mulutnya.

"Kamu gak perlu pusing-pusing untuk memikirkannya, lagipula setelah ini kamu akan bekerja di kantor papi, dan kalau kamu berhasil mengelola perusahaan papi, kamu akan menjadi pemilik perusahaan papi yang ada di cabang lain."

Dikta termenung. Benar juga yang dikatakan sama papinya. Ah bodohnya Dikta, kenapa tidak berpikir sampai kesana.

Setelah selesai makan bersama, Dikta kembali kekamarnya. Tidak ada yang berubah didalam ruangan tidurnya. Posisinya masih tetap sama. Saat Dikta sedang duduk dekat jendela, tiba-tiba ponselnya berbunyi notifikasi.

Dikta terkejut saat tau siapa yang dimaksud dari notifikasi tersebut.

Kala : dikta, aku mau dijodohin sama ibuku

Seakan dunia berhenti untuk berputar. Dikta kembali membaca dengan cermat pesan yang baru saja diberikan oleh Kala.

Dikta meremas rambutnya sendiri karena saking frustasinya. Bagaimana tidak? Pujaan hatinya akan segera dijodohkan, bagaimana nasib cintanya nanti?

Dia mulai sibuk untuk menelfon Kala yang tidak dijawab juga. Dikta jadi bingung sendiri, ini yang bermasalah itu di jaringannya atau emang Kala yang gak punya pulsa untuk sekedar misscall.

Dia mulai berpikir keras untuk mencari jalan keluarnya. Sebelum duduk didekat jendela, ia sudah menyalakan pendingin ruangan, tapi kok sekarang kamarnya ini berubah menjadi panas ya?

"Mana mungkin aku membiarkan kamu untuk membangun rumah tangga bersama yang lain, sedangkan aku disini untuk menantimu untuk menjadi ibu dari anak anakku kelak." Gumam Dikta.

Malam ini kenapa banyak sekali bintang dilangit ya? Eh bentar dulu, sekilas ada gambar wajah Kala yang sedang tersenyum kearahnya. Pikirannya mulai ngawur, dan ingin rasanya berteriak biar rasa kesalnya itu cepat tersalurkan.

"Gak akan aku biarin kamu jadi milik orang lain. Biar saja aku menjadi orang egois untuk kali ini, cukup empat tahun yang lalu membuat hidupku hancur dan harus menata ulang lagi. Masa bodoh mau kawin lari dan tinggal dirumah kecil, aku cuma mau kamu, gak ada pengecualian." Ucap Dikta yang sambil berjalan menuju kamar mandi. Dia butuh pemikiran yang tenang. Baru saja dia datang kerumah, tapi dirinya ditarik kembali ke Kota yang disana ada pujaan hatinya.

Haruskah ia menjemput bidadarinya? Tanpa restu dari ibunya? Huft, jangan terlalu berharap Dikta. Batin Dikta.

Pintu kamar mandi tertutup dengan bunyi yang sangat kencang. Masa bodoh, dirinya sudah kepalang kesal dengan hidupnya yang selalu mempermainkannya.

Untuk melamar Kala, akan dia pikirkan nanti. Dikta akan mencari jalan keluarnya dan meminta solusi dari kedua orang tuanya.

******

Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.

Happy reading♡

Langit & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang