Didalam ruang persalinan, Dikta terus memberi semangat pada istrinya yang sedang berjuang untuk melahirkan seorang anak. Lututnya terasa lemas saat melihat perjuangan Kala. Keningnya sudah dipenuhi keringat, luka sekitar lengannya juga tidak akan kerasa kalau dibanding apa yang dirasa sama sang istri.
"Kamu pasti bisa, sayang." Hanya kalimat itu yang bisa Dikta sampaikan pada sang istri.
Dengan nafas yang tidak beraturan, Kala mengangguk. Sebentar lagi ia akan melihat buah hatinya bersama Dikta.
Oek... oek.. oek..
Terdengar suara tangisan bayi memenuhi ruangan persalinan. Kedua pasangan itu menangis karena saking terharunya. Pasangan muda itu sudah resmi menjadi orang tua.
"Selamat ya pak, bu, anaknya laki-laki yang sehat dan tanpa ada kekurangan apapun." Ucap Dokter tersebut. Dikta menerima bayinya yang baru saja lahir untuk segera diazankan. Lalu ia mengembalikannya lagi ke perawat untuk dibersihkan.
Dikta mencium kening Kala dengan penuh cinta. Beribu ucapan terima kasih dapat Kala dengar dari Dikta.
"Terima kasih telah melahirkan buah hati kita. Hari ini aku dan kamu sudah resmi menjadi orang tua." Dikta menangis. Wanita itu dibuat bingung dengan melihat suaminya yang jarang sekali menangis.
Meski tenaganya masih belum stabil, Kala berusaha untuk menggapai wajah suaminya lalu perlahan ia menghapus jejak air matanya. "Masa yang udah jadi papa nangis sih? Senyum dong." Tak lama setelah Kala menghapus air matanya Dikta tiba-tiba Kala langsung menutup matanya sehingga membuat Dikta menjadi panik.
"Maaf pak, ibu mengalami pendarahan yang cukup hebat. Silahkan bapak tunggu diluar." Dengan sangat terpaksa ia melangkah keluar. Kalau ditanya bagaimana perasaan Dikta pasti hancur sekaligus takut. Hal yang selama ini ia hindarkan benar-benar terjadi dan salah satunya ini.
Pandangannya hampa. Meski tubuhnya ada diluar ruangan, tapi raganya ikut didalam bersama sang istri.
Saat Dikta ingin duduk, ada kedua orang tua mereka yang menunggunya dengan perasaan cemas. Mereka langsung menyerbu berbagai pertanyaan yang membuat Dikta ingin menjawab namun hati ini tidak siap.
"Nak," panggil mami Dikta.
Pria itu yang baru saja menjadi seorang ayah menatap maminya. Dari tatapannya yang sendu membuat badannya ikut lemas. Saat ini pikirannya mulai bercabang. "Kala mengalami pendarahan yang cukup hebat, mi." lalu ia pergi untuk meninggalkan ruangan tersebut dan mengarah kearah mushola yang ada dirumah sakit.
Setelah selesai shalat, Dikta memilih untuk mengunjungi anaknya yang belum sempat ia beri nama.
"Maafin papa ya nak yang belum siap untuk menggendongmu. Semoga mama mu cepat sadar."
Didepan ruangan bayi, ia hanya bisa memandangnya dari luar kaca saja. Ada perasaan bangga karena sudah menjadi seorang ayah, tapi ada sedikit peraaaan yang mengganjal dihatinya karena pujaan hatinya belum sadar juga yang sedang berjuang melawan maut.
"Cucuku pasti bangga punya ayah seperti dirimu."
Dikta berbalik lalu menemukan ibu mertuanya yang sudah ada dibelakangnya sembari tersenyum kearahnya. Ia menyembunyikan air matanya dengan mengelap bagian sudut matanya. Buru-buru ia menghampiri mertuanya kemudian ia mencium punggung tangannya. "Ibu kapan sampai? Kok gak bilang Dikta kalau mau kesini? Kalau gitu Dikta bisa jemput ibu."
Sebagai ibu mertua, Afifah hanya bisa mengucapkan rasa syukur karena bisa mendapat menantu yang sangat menghormatinya. "Baru saja ibu sampai karena mami mu yang mengabari kalau Kala sudah lahiran. Ibu sudah tau kalau Kala sedang kritis, dan itu membuat kamu menjadi patah semangat kan?" Dalam sekejap Dikta mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit & Bintang [END]
Genç Kurgu"Kita yang berbeda." untuk yang pertama kalinya, dia menyukai perempuan yang bisa membuat hatinya terpikat. dia bukan seperti perempuan pada umumnya, dia hanyalah dia yang hanya bisa menjadi dirinya sendiri, dan untuk yang pertama kalinya seorang an...