chapter 20 : kabar baik atau buruk?

177 21 0
                                    

Gadis itu beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil ponselnya yang bergetar diatas meja kecil. Ada panggilan video call dari Dikta. Dahi Kala mengerut, lalu melirik jam dinding yang sudah pukul sembilan malam.

Saat Kala memencet tombol berwarna hijau, ia melihat Dikta yang sedang ada diluar rumah. Sudah pasti Kala bingung sama suasana yang saat ini Dikta kunjungi. "Kamu lagi dimana?" Sembari menaruh ponselnya dekat meja belajar, tugasnya hampir selesai.

"Lagi ngumpul sama teman, kamu lagi belajar?" Kala berhenti menulis, lalu pandangannya terarah sama laki-laki yang ada didalam layar ponsel. "Iya, bentar lagi juga selesai kok."

"Aku ganggu ya? Aku matiin aja ya vicall nya?" Kala menggeleng pelan. "Eh gak usah, aku udah selesai juga kok." Kala langsung menutup buku tulisnya kemudian dirinya beranjak dari meja belajar kearah kasur.

Dilihatnya, Kala sedang menyender pada punggung kasur. "Kamu gak pulang? Ini udah malem tau." Kala mengembungkan pipinya. "Ish... gemes banget, pengen aku cubit." Jawab Dikta.

"Ih jawab dulu pertanyaanku tadi," Dikta mengarahkan kameranya menjadi kamera belakang. Disana ada sahabat-sahabat Dikta, dan tunggu dulu... ada cewek juga disana? Siapa dia? Kenapa Dikta gak bilang?

"Dikta," Laki-laki itu kembali mengarahkan kamera belakang menjadi kamera depan. "Kenapa?"

"Disana ada ceweknya juga?" Dikta mengangguk ragu. Padahal disamping dirinya ada cewek yang sedang memeluk tubuh seseorang dengan erat. Kalau lihat seperti itu, Dikta juga mau. "Siapa itu Dik?" Bukannya mau berasumsi yang negatif, namanya juga hati, ya kadang suka sensitif.

"D-dia--," belum sempat berkata yang sejujurnya, ada suara yang buat Kala diam. "Sayang,"

Kala membekap mulutnya. Ia mencubit pipinya untuk memastikan kalau dirinya itu sedang tidak di alam mimpi. "Itu siapa Dik?" Dengan nada yang santai. Padahal hatinya udah panas ingin mendengar yang sebenarnya.

Lalu disana ada cewek yang mengambil alih ponsel milik Dikta. Kini, Kala dan cewek itu saling menatap satu sama lain dalam kamera. "Hallo.... ini aku... Dara.." sebelum melanjutkan ucapannya, cewek itu sempat memperlihatkan senyum manisnya. "... kamu pasti bingung ya? Tenang aja kok, aku bukan pacarnya Dikta... tapi.... pacarnya Dimas."

Kala dibuat bingung. Jawaban macam apa itu? Dirinya sudah lelah sehabis belajar tadi, kenapa orang yang sedang berbicara padanya malah menambah lelah hanya untuk mencerna perkataan yang sulit di mengerti.

Tak lama kini kameranya terarah sepenuhnya pada wajah Dikta. "Nanti aku jelasin, oh iya aku pengen kasih tau sesuatu sama kamu--," niatnya sih mau bilang sama Kala tentang kedua orang tuanya yang sudah memberikan restu agar ia bisa pacaran, waktu itu Dikta belum sempat untuk memberitahukannya, ia pikir nanti saja saat moment nya yang tepat. Dan sekarang ini mungkin sudah waktunya ia memberitahukan sesuatu.

"Kala, tolong ibu, Nak," panggil ibunya dari luar kamar. Kala yang mendengar teriakan sang ibu langsung refleks berdiri meski ia sedang video call dengan Dikta. Sontak Dikta pun yang tadinya mau memulai cerita langsung mengurungkan niatnya itu. Ia menghela nafas, mencoba sabar.

"Aku matiin dulu ya vicall nya, ibu butuh bantuan aku. See you!" Kala langsung mematikan sambungan telfonnya sepihak. Di seberang sana terdapat laki-laki yang sedang mengacak rambut frustasinya. Percobaan pertama gagal untuk membuat Kala terkejut, mungkin untuk percobaan selanjutnya ia benar-benar memberikan Kala kejutan. Kalau begitu Dikta harus berpikir lagi untuk menyusun rencananya.

******

"Loh.... kok ibu belum tidur?!" Ujar Kala yang sedang menghampiri ibunya yang masih ada didapur.

Wanita yang sudah tidak muda lagi itu hanya bisa menyunggingkan senyumnya saat mendengar ocehan sang anak. "Besok harus udah jadi semua pesanan kuenya."

Kala sempat menengok ibunya sekilas. Ia sendiri sedang menunggu kue yang matang dari oven. Saat kuenya sudah matang, gadis itu membuka panggang oven dengan sarung tangan agar tangannya tidak kepanasan. Ibunya melihat anaknya yang sedang mengambil kue dari oven. "Biar ibu aja nanti tangan kamu kepanasan," Kala membiarkan ibunya mengambil sarung tangannya.

Diatas meja makan sudah terdapat banyak kue yang sudah siap untuk besok. Pantas saja ibunya memanggilnya, rupanya ibunya sedang dapat rezeki berupa pesanan kue yang lumayan banyak. Alhamdulillah.

Pelan-pelan Kala menaruh bolu gulungnya kedalam kotak. Lalu tak lupa menempelkan label diluar kotak kue tersebut. Suasana malam ini kembali hening, tiba-tiba ibu duduk disamping gadis itu. "Nak... ada yang mau ibu bicarakan sama kamu,"

Kala yang sedang memasukkan kuenya kedalam kotak langsung terdiam. Buru-buru menyelesaikan kegiatan yang saat ini ia lakukan. "Kenapa, bu?"

"Baru tadi siang ibu dapat kabar tentang eyangmu di Semarang kalau penyakitnya kambuh lagi." Kala yang mendengarnya pun langsung terkejut. Penyakit neneknya kambuh lagi? Gadis itu langsung terpaku saat itu juga.

"Sekarang kondisi eyang gimana bu?" Tanya Kala dengan raut wajah yang panik. Jujur aja, selain dekat dengan kedua orang tuanya, Kala juga sangat dekat dengan eyangnya.

"Kata tante Lia udah mendingan, tapi eyangmu minta untuk kita menetap disana setelah kelulusanmu." Tante Lia itu adiknya ibunya Kala. Wanita itu sudah berkeluarga dan dikaruniai satu anak perempuan yang umurnya tidak beda jauh dari Kala--- ya terpaut sekitar dua tahunlah. Kala langsung berpikir keras untuk mencari jawaban yang tepat. "Apa kamu keberatan dengan permintaan eyangmu itu?"

Kala memilin ujung bajunya untuk menghilangkan rasa gugup yang berlebihan. "Eh---enggak bu,"

"Hari kelulusan kamu kapan diadakan?" Gadis itu mengingat-ingat kembali saat pengumuman hari kelulusan. "Dua minggu lagi, bu."

"Tapi bu... gimana sama usaha ibu disini? Apa gak sayang kalau kita pindah dari sini?" Bukannya tidak setuju untuk pindah ke Semarang, tapi kan toko kue yang ibunya punya sudah lama di dirikan. Sayang aja gitu, ia jadi teringat saat ibunya merintis usahanya sedikit demi sedikit hingga sekarang.

Dapat Kala rasakan elusan dari tangan sang ibu di puncak kepalanya. "Gak papa, rezeki gak akan kemana. Ibu gak masalah tentang toko kue ibu, yang terpenting kamu udah setuju pindah untuk tinggal sama eyang." Kala hanya mengangguk sebagai jawabannya. Ia tidak punya pilihan lain selain mengiyakan. Demi ibunya, ia rela melakukan apapun, asal dia bahagia dan tidak merasa kesepian dirumah yang kadang dirinya itu tidak bisa menemaninya setiap hari.

Kala mulai mencari cara bagaimana bilang sama Dikta. Ia kembali kekamar setelah selesai membantu ibunya didapur. Pukul sebelas malam ia baru masuk kamar.

Huft... lelah sekali hari ini. Semoga besok aku mendapatkan cara untuk menjelaskan ini semua sama Dikta. Batin Kala.

******

Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.

Happy reading♡

Langit & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang