chapter 24 : harus menerima ketidakrelaan ini

265 23 0
                                    

Gadis itu baru saja sampai distasiun yang berada di Jakarta. Kepergiannya memilih untuk naik kereta. Sebenarnya ini permintaan sang ibu agar bisa naik kereta saja.

Sesudah memesan tiket di loket, ia kembali duduk bersama ibunya dibangku panjang. "Nak,"

Kala menengok. "Iya, Bu?"

"Kamu yakin sama kepindahan kita ini?" Tanya ibu Kala.

Permintaan sang ibu hanya sederhana saja, ia hanya ingin melihat sang anak terlihat bahagia. Meski dirinya itu kurang menyetujui mengenai hubungannya dengan pemuda itu.

Dengan sedikit tersenyum agar ibunya percaya bahwa ia baik-baik saja. Perlahan ia mengelus punggung tangan sang ibu, "aku yakin, Bu. Kalau ibu senang, aku juga senang."

Saat mendengar tentang kereta menuju yang akan segera datang, gadis itu bersama ibunya bangkit dari duduknya dan segera masuk.

Saat Kala yang baru saja ingin menempelkan kartu yang ada didepan pintu, tiba-tiba ada suara yang menggema ditelinga Kala. Suara itu mulai mendekat, tapi buru-buru ia menghilangkan pemikirannya yang mulai ngaco baginya. Dan dia sudah berhasil menempelkan kartu pada salah satu alat agar dia bisa masuk kedalam gerbong kereta.

Gak mungkin Dikta datang kesini, Kala. Lo cuma lagi halusinasi aja. Ingat, Kala. Mulai hari ini hidup lo akan berubah, akan ada lembaran baru di hidup lo. Batin Kala.

Ia kembali melangkah, namun suara itu kembali bergema ditelinga. Ia memberanikan diri untuk menengok kebelakang. Bola matanya melotot saat melihat yang menurutnya mimpi.

Ya, benar. Itu Dikta. Bagaimana dia tau tentang jam keberangkatannya? Ah sudahlah, ia tidak peduli. Yang terpenting rasa rindunya sudah terbayar.

Dengan langkah yang lebar, laki-laki itu langsung mendekap tubuh mungil milik gadisnya. Tiba-tiba rasa tenang menjalar didalam tubuhnya. "Kamu kenapa bisa disini?" Bisik Kala.

"Aku disini karena kamu," jawab Dikta dengan suara yang mulai serak.

Gadis itu hanya diam membisu. berat rasanya untuk melangkah meninggalkan Kota Jakarta. banyak kenangan yang ia buat bersama seseorang yang spesial dihidupnya, termasuk sang ayah sebelum meninggal. 

Lagi-lagi pertahanan itu mulai goyah. Ia ingin bahagia, tapi sumber kebahagiaannya hanya terdapat pada sang ibu. Ia tidak boleh egois, ia harus memikirkan tentang keluarganya. terutama untuk eyangnya yang meminta untuk tinggal bersama.

"Kala, ayo, Nak." panggil sang ibu yang sudah lebih dulu masuk kedalam gerbong kereta.

Kala menoleh kebelakang saat mendengar suara sang ibu. "i-iya, Bu." saat itu juga kedua pasangan itu saling melepas peluk, meski ada rasa ketidakrelaan. 

"Aku harap kamu udah baca surat dariku, semoga kamu mengerti." hanya kalimat itu yang mampu terlontar dari mulut Kala. bibirnya terasa kelu saat mengucapkan yang dapat menyayat hatinya.

Dikta mengangguk. Jika boleh jujur, ia tidak mau berpisah sama seseorang yang sudah ada di depan matanya. bila ia tidak berpikir panjang, tentu saja ia sudah berbuat nekat untuk mendapakan Kala. apapun caranya. ia tidak peduli.

Dengan tangan yang begitu dingin, Dikta menggenggam tangan Kala. "Baik-baik disana, semoga sehat selalu. Meski kita tidak punya hubungan lagi, tapi kamu tetap jadi teman baikku. Ingat, hatiku ini masih ada namamu. Jadi jangan pernah takut untuk dapat tergantikan sama yang lain. Kamu percaya sama waktu kan? tanpa sadar akan berjalan begitu cepat, sampai kita sadar kalau ini bukan perpisahan kita, tapi ini ujian kehidupan kita." 

Tes

Satu tetes air mata itu kembali mengalir, tepat diberada diwajahnya yang begitu cantik. "Kalau nanti aku atau kamu duluan yang punya keluarga, jangan pernah membenciku, ya?" Dikta menyunggingkan senyum tipisnya. gadis begitu polos, begitu pikir Dikta.

Sambil mengusap air mata yang tidak dapat ditahan lagi. "Tunggu aku sampai jadi orang yang sukses. Akan ku buat ibumu untuk merestui hubungan kita. Ini bukan sebuah janji, tapi ingatlah perkataanku ini baik-baik. Jaga diri kamu baik-baik, selagi aku gak disampingmu."

Perlahan punggung itu mulai menghilang saat memasuki gerbong kereta. Sebelum pintu gerbong tertutup rapat, Dikta sempat melambaikan tangannya. "Hati-hati disana, secepatnya aku datang ke Semarang." Ucap Dikta. Tak lama pintu gerbong sudah tertutup rapat.

******

Saat pintu gerbong kereta sudah tertutup lalu mulai berjalan secara perlahan-lahan. Ada ketidakrelaan saat sang pujaan akan pergi. Sudahlah, ia yakin kalau waktu akan cepat berlalu. Yang perlu ia yakini kalau dirinya mampu melewati ini semua.

Sesampainya dirumah, ia memilih untuk pergi dihalaman belakang. Banyak tanaman hias yang sering maminya beli. Ia memandang takjub tanaman hias yang begitu indah. Ia tidak pernah meragukan keahlian sang mami untuk merawat tanaman kesayangannya. Secerca harapan kembali hadir didalam benak hati. Raganya tetap disini, tapi hatinya ikut terbawa bersama gadis manis yang sedang berada di kota lain.

Dikta tersentak kaget saat tau ada yang menepuk bahunya. Ia menoleh dan mendapati laki-laki paruh bayah yang masih terlihat tampan. "Eh---papi, ngagetin tau."

Papi Dikta hanya terkekeh, sembari duduk disamping sang anak. Secangkir kopi yang ia bawa tadi sudah mulai di seruput oleh sang pemilik. "Lagi mikirin apa sih? Bisa sampai kaget gitu? Hayo... cerita sama papi."

Pemuda itu menggaruk tengkuknya. Otaknya kembali berputar didalam kepala untuk menjawab pertanyaan sang papi. "Ah enggak pi, lagi santai aja."

"Santai bagaimana maksudmu?" Lalu Dikta berdiri sambil merentangkan tangannya dan memutar badannya layaknya orang yang sedang berolahraga. "Nih lihat pi, aku lagi olahraga. Oh iya itu tanaman mami bagus banget, ya?" Diakhirnya ia hanya terkekeh. Merutuki kebodohannya didepan papinya. Yang bisa dilakukan sama papi Dikta hanya bisa menghela nafas. Berusaha untuk mengerti sama keadaan sang anak. Saat ini yang dibutuhkan anaknya hanya dukungan.

"Kamu mau kan membantu papi?" Dikta berhenti berolahraga. "Bantu apa pi?"

"Bantu urus perusahaan papi, papi mau rehat dulu. Kamu mau kuliah dijurusan apa memangnya?"

"Aku tertarik untuk ambil jurusan bisnis, pi." Papi Dikta mengangguk. "Bagus kalau begitu. Papi dukung apapun yang kamu pilih selagi itu hal yang positif. Jadi bagaimana, apa kamu akan menerima tawaran papi untuk membantu diperusahaan?"

"Gimana sama kuliahku, pi?"

"Kamu bisa bekerja dikantor papi setelah pulang kuliah, hitung-hitung latihan untuk menjadi direktur perusahaan kita." Dikta terdiam sesaat. Pikirannya mulai terbagi-bagi. Waktunya untuk bangkit, ia tidak bisa seperti ini.

Tak lama papi Dikta mengulurkan tangannya pada sang anak. "Bagaimana? Apa kamu setuju sama usulan papi tadi?" Dengan hitungan detik, Dikta membalas uluran sang papi. "Oke, Dikta setuju."

"Papi gak kerja?" Tanya Dikta yang sudah kembali duduk ditempat semula. "Enggak dulu, kamu kangen ya mau main sama papi?" Goda papi Dikta. Sedangkan Dikta hanya memutar bola matanya dengan malas.

Mulai lagi recehnya.

"Kamu gak perlu takut untuk kehilangan Kala, papi yang jamin itu, Nak." Hati Dikta tergerak untuk mengikuti alurnya. "Maksud papi apa? Dikta gak ngerti."

"Ini semua salah papi, kamu gak usah khawatir tentang hubungan kamu." Dari lubuk hati yang paling dalam, masih ada rasa ingin balikan pada gadis itu, tapi ia berpikir kembali. Semua sudah ia pikirkan secara matang-matang. Ia tidak mau salah jalan lagi yang membuatnya terus merasa kehilangan.

"Kalau memang Kala itu jodohku, dia pasti akan kembali padaku. Tapi kalau takdir berkata lain, aku akan berusaha untuk mengikhlaskannya. Bantu aku pi, untuk bangkit dari keterpurukan ini." Pinta Dikta dengan setulus hati yang sangat terlihat dari sorot matanya yang begitu sendu. Hatinya kosong, bak bagai rumah yang tanpa diisi perabotan rumah.

Calandra alecia, gadis itu sudah mengubah dunia Dikta menjadi indah. Setelah kepergiannya, kini dunianya kembali hampa.

******

Tolong hargai dengan memberikan vote dan comment.

Happy reading♡

Langit & Bintang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang